(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan Sumber lainya)
Perjanjian Bungaya adalah tolak balik kejayaan salah satu kerajaan dari suku bugis (Makassar/gowa & tallo) peristiwa2 sebelum terjadinya perjanjian dan hubungan Makassar dengan Bima yang merupakan saudara kurang lebih sbb :
Sultan Abdul Khair Sirajudin (1635-1681) adalah Sultan kedua kesultanan Bima yang menggantikan ayahnya Sultan Abdul Kahir (1620-1635) Sultan pertama Bima, Sultan Abdul Khair Sirajudin merupakan juga seorang Ulama di tanah Bima yang sangat berwibawa, dalam masa kekuasaannya Kesultanan bima sangat terkenal akan nilai luhur keagamaan karena banyaknya Ulama-ulama Melayu berdatangan ke Bima untuk menjadi Guru Agama (Ruma Sehe), maupun Mubaligh-mubaligh yang datang berdagang berasal dari Kesultanan Gowa.
Hubungan Diplomatik Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa bisa bilang sangat dekat, karena Kesultanan Gowa membidani berdirinya Kesultanan Bima dan memberikan bantuan pasukan untuk menaklukkan Pemberontakan Salisi.
Untuk menghormati jasa kerajaan Gowa terhadap Kesultanan Bima, Ibunda Sultan Abdul Khair Sirajudin yaitu Daeng Sikontu yang juga Putri Gowa mengawinkan anaknya (Sultan Bima) dengan Putri kesultanan Gowa yang bernama Karaeng Bonto Jene (yang merupakan adik kandung Sultan Hasanuddin) pada tanggal 13 April 1646 pernikahan berlangsung di Gowa.
Tahun 1646 meletus perang saudara Gowa dan Bone dan mulai dari sinilah Kesultanan Bima terlibat dalam pergulatan politik kerajaan-kerajaan Suku Bugis, kemudian Sultan Bima Abdul Khair Sirajudin yang sekaligus sebagai Panglima Perang memberikan bantuan Militer kepada Kesultanan Gowa dan berhasil mengalahkan Raja Bone La Maddaremmeng
Kemudian peperangan kembali terjadi di Kesultanan Gowa tahun 1660 kompeni Belanda menggempur Somba Opu Ibukota Kesultanan Gowa dan Benteng Panukukang, militer Belanda di bawah pimpinan Johan Van Dam dan Johan Truitman. Sultan Abdul Khair Sirajudin kembali mengirim bantuan militer yang di bantu oleh Pejabat Hadat Kesultanan Bima yang bernama La-Mbila, dan akhirnya Somba Opu berhasil di kuasai oleh Kompeni Belanda, karena terkecoh oleh taktik Belanda yang mengarahkan pasukan seolah-olah semua ke Utara menyerang Benteng Panukukan dan pasukan Gowa dan Bima terkecoh semua pasukan mengarah ke Utara, sehingga Belanda sambil menyerang dari arah laut, Belandapun berhasil mendarat dan menaklukkan Benteng Panakukan.
Tanggal 19 Agustus 1660 gencatan senjata segera diadakan dan perjanjianpun di buat dimana kesultanan Gowa di wakili oleh Karaeng Popo atas nama Sultan Hasanuddin yang dimana perjanjian ini sangat merugikan pihak Kesultanan Gowa. Sementara itu Johan Truitman berlayar menuju Kesultanan Bima tepatnya di Nisa Soma, laksamana Johan Truitman dan Pejabat Kesultanan Bima berunding, dari perundingan tersebut secara lisan bahwa Kesultanan Bima bersedia melepaskan persekutuan mereka dengan Kesultanan Gowa
Mendengar isi perundingan tersebut Sultan Abdul Khair Sirajudin menolak untuk memutuskan hubungan Diplomatik atau persekutuan Kesultanan Bima dan Kesultana Gowa yang di kabarkan secara lisan di hadapan Sultan. Karena bagi Belanda, Bima dan Gowa merupakan masalah bagi kepentingan mereka dalam melakukan perdagangan di perairan Timur.
Kemudian tahun tahun 1666 meletus pertempuran Somba Opu II yang dimana Sultan Hasanuddin kembali mengusir Kompeni Belanda, dari Batavia Kompeni Belanda mengirim kekuatan militernya menuju perairan Indonesia Timur yang di pimpin oleh Admiral Cornelius Spelman dan Kapten Jonker, armada Spelman terdiri dari 21 kapal perang, 600 personil serdadu Belanda,dan di bantu oleh Kerajaan-kerajaan taklukkan Kesultanan Gowa yang memberontak seperti 400 personil serdadu Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka dan Kerajaan Buton untuk menggempur Kesultanan Gowa.
Mendengar hal itu Sultan Hasanuddin dan di bantu oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu membangun kembali Benteng Panakukan sepanjang pantai utara Makassar yang telah di hancurkan oleh Belanda waktu perang Somba Opu I. Di Bima, mendengar peperangan akan terjadi Sultan Abdul khair Sirajudin kembali bergabung bersama kakak iparnya (Sultan hasanuddin) guna melawan penjajah Belanda, dan waktu yang bersamaan Kesultanan Bima juga membantu Kerajaan Mandar.
Sultan Hasanuddin, Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Sultan Abdul Khair Sirajudin bahu membahu melawan serdadu Belanda yang berjumlah 20.000, dengan kegigihannya dan tekad yang kuat Sultan Abdul Khair Sirajuddin melawan tanpa ada rasa takut sedikitpun sehingga orang-orang Gowa yang melihat semangat peperangan Sultan Bima tersebut memberikan julukan kepada Sultan Abdul Khair Sirajudin “tak terkalahkan oleh orang Bone”.
Dalam pertemuran Somba Opu II ini Kesultanan Gowa mengalami kekalahan besar-besaran dikarenakan Kompeni Belanda banyak di bantu oleh pemberontakan kerajaan-kerajaan yang ingin melepas diri dari daerah taklukan Kesultanan Gowa. Dalam sebagian catatan sejarah bahwa kekalahan tersebut di menangkan oleh Aru Palaka, dan Sulawesi Selatan jatuh di tangan Kompeni Belanda. Maka lahirlah sebuah perjanjian yang mengubah sejarah Gowa-Bima dan memutuskan hubungan Diplomatik antara kedua kesultanan tersebut yaitu perjanjian di desa Bungaya atau lebih di kenal dengan perjanjian Bungaya.
18 November 1667 Perjanjian Bungaya akhirnya memisahkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima, karena semangat anti penjajahan antara kedua Kesultanan (Gowa dan Bima) sangat merugikan perdagangan Monopoly bagi Belanda di perairan Indonesia timur. Dengan keadaan tertekan dan dibawah intimidasi Kompeni Belanda, Sultan Hasanuddin yang mencemaskan nasib rakyatnya beliau akhirnya mau menanda tangani perjanjian Bungaya yang dimana isi dari salah satu perjanjian tersebut diharuskan Sultan Hasanuddin menyerahkan adik iparnya Sultan Abdul Khair Sirajudin dan sahabatnya Karaeng Bontomarannu kepada Kompeni Belanda sebagai tawanan hidup atau mati dan memutus hubungan diplomatik dengan Kesultanan Bima, merupakan misi dari Kompeni Belanda sejak dulu adalah memisahkan hubungan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima
Mendengar isi dari perjanjian Bungaya Karaeng Bontomarannu dan Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan pasukan mereka mengungsi ke Bima (kemungkinan bahwa Karaeng Bontomarannu menetap untuk sementara di Bonto-Bima, Bonto di ambil dari nama beliau untuk mengingat kepatriotannya melawan Belanda, dan karaeng Bontomarannu beserta pasukannya melanjutkan perjalanan mereka ke tanah Jawa untuk berjihad melawan VOC disana), Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan Karaeng Bontomarannu tahu bahwa keputusan penanda tanganan perjanjian Bungaya tersebut bukan kehendak Sultan Hasanuddin dari hati nuraninya akan tetapi atas desakan Belanda oleh sebab itu wajar jika Sultan Abdul Khair Sirajudin dan karaeng Bontomarannu tidak mau mengakui perjanjian Bongaya.
Hubungan Diplomatik Kesultanan Bima dan Kesultanan Gowa bisa bilang sangat dekat, karena Kesultanan Gowa membidani berdirinya Kesultanan Bima dan memberikan bantuan pasukan untuk menaklukkan Pemberontakan Salisi.
Untuk menghormati jasa kerajaan Gowa terhadap Kesultanan Bima, Ibunda Sultan Abdul Khair Sirajudin yaitu Daeng Sikontu yang juga Putri Gowa mengawinkan anaknya (Sultan Bima) dengan Putri kesultanan Gowa yang bernama Karaeng Bonto Jene (yang merupakan adik kandung Sultan Hasanuddin) pada tanggal 13 April 1646 pernikahan berlangsung di Gowa.
Tahun 1646 meletus perang saudara Gowa dan Bone dan mulai dari sinilah Kesultanan Bima terlibat dalam pergulatan politik kerajaan-kerajaan Suku Bugis, kemudian Sultan Bima Abdul Khair Sirajudin yang sekaligus sebagai Panglima Perang memberikan bantuan Militer kepada Kesultanan Gowa dan berhasil mengalahkan Raja Bone La Maddaremmeng
Kemudian peperangan kembali terjadi di Kesultanan Gowa tahun 1660 kompeni Belanda menggempur Somba Opu Ibukota Kesultanan Gowa dan Benteng Panukukang, militer Belanda di bawah pimpinan Johan Van Dam dan Johan Truitman. Sultan Abdul Khair Sirajudin kembali mengirim bantuan militer yang di bantu oleh Pejabat Hadat Kesultanan Bima yang bernama La-Mbila, dan akhirnya Somba Opu berhasil di kuasai oleh Kompeni Belanda, karena terkecoh oleh taktik Belanda yang mengarahkan pasukan seolah-olah semua ke Utara menyerang Benteng Panukukan dan pasukan Gowa dan Bima terkecoh semua pasukan mengarah ke Utara, sehingga Belanda sambil menyerang dari arah laut, Belandapun berhasil mendarat dan menaklukkan Benteng Panakukan.
Tanggal 19 Agustus 1660 gencatan senjata segera diadakan dan perjanjianpun di buat dimana kesultanan Gowa di wakili oleh Karaeng Popo atas nama Sultan Hasanuddin yang dimana perjanjian ini sangat merugikan pihak Kesultanan Gowa. Sementara itu Johan Truitman berlayar menuju Kesultanan Bima tepatnya di Nisa Soma, laksamana Johan Truitman dan Pejabat Kesultanan Bima berunding, dari perundingan tersebut secara lisan bahwa Kesultanan Bima bersedia melepaskan persekutuan mereka dengan Kesultanan Gowa
Mendengar isi perundingan tersebut Sultan Abdul Khair Sirajudin menolak untuk memutuskan hubungan Diplomatik atau persekutuan Kesultanan Bima dan Kesultana Gowa yang di kabarkan secara lisan di hadapan Sultan. Karena bagi Belanda, Bima dan Gowa merupakan masalah bagi kepentingan mereka dalam melakukan perdagangan di perairan Timur.
Kemudian tahun tahun 1666 meletus pertempuran Somba Opu II yang dimana Sultan Hasanuddin kembali mengusir Kompeni Belanda, dari Batavia Kompeni Belanda mengirim kekuatan militernya menuju perairan Indonesia Timur yang di pimpin oleh Admiral Cornelius Spelman dan Kapten Jonker, armada Spelman terdiri dari 21 kapal perang, 600 personil serdadu Belanda,dan di bantu oleh Kerajaan-kerajaan taklukkan Kesultanan Gowa yang memberontak seperti 400 personil serdadu Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka dan Kerajaan Buton untuk menggempur Kesultanan Gowa.
Mendengar hal itu Sultan Hasanuddin dan di bantu oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu membangun kembali Benteng Panakukan sepanjang pantai utara Makassar yang telah di hancurkan oleh Belanda waktu perang Somba Opu I. Di Bima, mendengar peperangan akan terjadi Sultan Abdul khair Sirajudin kembali bergabung bersama kakak iparnya (Sultan hasanuddin) guna melawan penjajah Belanda, dan waktu yang bersamaan Kesultanan Bima juga membantu Kerajaan Mandar.
Sultan Hasanuddin, Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Sultan Abdul Khair Sirajudin bahu membahu melawan serdadu Belanda yang berjumlah 20.000, dengan kegigihannya dan tekad yang kuat Sultan Abdul Khair Sirajuddin melawan tanpa ada rasa takut sedikitpun sehingga orang-orang Gowa yang melihat semangat peperangan Sultan Bima tersebut memberikan julukan kepada Sultan Abdul Khair Sirajudin “tak terkalahkan oleh orang Bone”.
Dalam pertemuran Somba Opu II ini Kesultanan Gowa mengalami kekalahan besar-besaran dikarenakan Kompeni Belanda banyak di bantu oleh pemberontakan kerajaan-kerajaan yang ingin melepas diri dari daerah taklukan Kesultanan Gowa. Dalam sebagian catatan sejarah bahwa kekalahan tersebut di menangkan oleh Aru Palaka, dan Sulawesi Selatan jatuh di tangan Kompeni Belanda. Maka lahirlah sebuah perjanjian yang mengubah sejarah Gowa-Bima dan memutuskan hubungan Diplomatik antara kedua kesultanan tersebut yaitu perjanjian di desa Bungaya atau lebih di kenal dengan perjanjian Bungaya.
18 November 1667 Perjanjian Bungaya akhirnya memisahkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima, karena semangat anti penjajahan antara kedua Kesultanan (Gowa dan Bima) sangat merugikan perdagangan Monopoly bagi Belanda di perairan Indonesia timur. Dengan keadaan tertekan dan dibawah intimidasi Kompeni Belanda, Sultan Hasanuddin yang mencemaskan nasib rakyatnya beliau akhirnya mau menanda tangani perjanjian Bungaya yang dimana isi dari salah satu perjanjian tersebut diharuskan Sultan Hasanuddin menyerahkan adik iparnya Sultan Abdul Khair Sirajudin dan sahabatnya Karaeng Bontomarannu kepada Kompeni Belanda sebagai tawanan hidup atau mati dan memutus hubungan diplomatik dengan Kesultanan Bima, merupakan misi dari Kompeni Belanda sejak dulu adalah memisahkan hubungan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima
Mendengar isi dari perjanjian Bungaya Karaeng Bontomarannu dan Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan pasukan mereka mengungsi ke Bima (kemungkinan bahwa Karaeng Bontomarannu menetap untuk sementara di Bonto-Bima, Bonto di ambil dari nama beliau untuk mengingat kepatriotannya melawan Belanda, dan karaeng Bontomarannu beserta pasukannya melanjutkan perjalanan mereka ke tanah Jawa untuk berjihad melawan VOC disana), Sultan Abdul Khair Sirajuddin dan Karaeng Bontomarannu tahu bahwa keputusan penanda tanganan perjanjian Bungaya tersebut bukan kehendak Sultan Hasanuddin dari hati nuraninya akan tetapi atas desakan Belanda oleh sebab itu wajar jika Sultan Abdul Khair Sirajudin dan karaeng Bontomarannu tidak mau mengakui perjanjian Bongaya.
Post a Comment