Featured Post Today
print this page
Latest Post

KRI Irian, Kapal perang terbesar Indonesia












(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Kapal jenis ini adalah Kapal Penjelajah konvensional terakhir yang dibuat untuk AL Soviet, 13 kapal diselesaikan sebelum Nikita Khrushchev menghentikan program ini karena kapal jenis ini dianggap kuno dengan munculnya rudal (peluru kendali). Kapal ini adalah versi pengembangan dari Penjelajah Kelas Chapayev.

KRI Irian sebenarnya adalah kapal Penjelajah Ordzhonikidze dari armada Baltik AL Sovietyang dibeli oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962. Pada Saat itu KRI Irian merupakan kapal terbesar di belahan bumi selatan . Kapal ini digunakan secara aktif dlm Operasi Trikora untuk persiapan merebut Irian Barat

Pada 11 Januari 1961 Pemerintah Soviet mulai mengeluarkan instruksi kepada Central Design Bureau #17 untuk memodifikasi Ordzhonikidze supaya ideal beroperasi di daerah tropis. Modernisasi skala besar dilakukan untuk membuat kapal ini bisa beroperasi pada suhu +40�C, kelembapan 95%, dan temperatur air +30�C.Tetapi perwakilan dari Angkatan Laut Indonesia yang kemudian mengunjungi kota Baltiisk menyatakan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggung biaya proyek sebesar itu. Akhirnya modernisasi dialihkan untuk instalasi genset diesel yang lebih kuat guna menggerakkan ventilator tambahan.

Pada 14 Februari 1961 Kapal ini tiba di Sevastopol dan pada 5 April 1962 kapal ini memulai ujicoba lautnya.Pada saat itu Kru Indonesia untuk kapal ini sudah terbentuk dan ada di atas kapal. Mekanik kapal ini Bapak Yathizan,
di kemudian hari menjadi Kepala Departemen Teknik ALRI. Begitu juga banyak dari pelaut yang lain,di kemudian hari banyak yang mampu menduduki posisi penting.

Operasional

Datang ke Surabaya pada 5 Agustus 1962 dan dinyatakan keluar dari kedinasan AL Soviet pada 24 Januari 1963.Dalam sejarah Militer Soviet, Tidak pernah Uni Soviet menjual kapal dengan bobot seberat ini kepada negara lain kecuali kepada Indonesia. ALRI yang belum pernah mempunyai armada sendiri sebelumnya, belajar untuk mengoperasikan kapal-kapal canggih dan mahal ini dengan cara trial and error / coba-coba. Pada November 1962 tercatat sebuah mesin diesel kapal selam rusak karena benturan hirolis saat naik ke permukaan, sebuah destroyer rusak dan 3 dari 6 boiler KRI Irian rusak. Suhu yang panas dan kelembapan tinggi berefek negatif terhadap armada ALRI, akibatnya banyak peralatan yang tidak bisa dioperasikan secara optimal. Di lain pihak kehadiran kapal ini memberikan efek psikologis bagi Kapal 2x perang AL Belanda terutama
Kapal Induk Belanda Kareel doorman dan membuat AL Belanda secara drastis mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat. Apalagi pd saat itu TNI-AU jg mengoperasikan Bomber Tu-16 Badger yg bisa mengotong
2 Rudal anti kapal perangAS-1 Kennel (rudal ini besarnya sama dgn Pesawat Pemburu Mig 15 !).

Pada 1964 Kapal Penjelajah ini sudah benar-benar kehilangan efisiensi operasionalnya dan diputuskan untuk mengirim KRI Irian ke Galangan Kapal Vladivostok untuk perbaikan. Pada Maret 1964 KRI Irian sampai di Pabrik Dalzavod. Para pelaut dan teknisi Soviet terkejut melihat kondisi kapal dan banyaknya perbaikan kecil yang seharusnya sudah dilakukan oleh para awak kapal ternyata tidak dilakukan. Mereka juga tertarik dengan sedikit modifikasi yang dilakukan ALRI yaitu mengubah ruang pakaian menjadi ruang ibadah (sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negara komunis)

Pemensiunan

Setelah perbaikan selesai pada Agustus 1964 kapal menuju Surabaya dengan dikawal Destroyer AL Soviet.Setahun kemudian (1965) terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto.Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkelai di Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto Pada 1970 kapal yang terbengkelai ini mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan Kapal Penjelajah ini.Tercatat KRI Irian dibesituakan di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.

Sungguh IRONIS………

Spesifikasi & Alusista :

Panjang: 210 Meter
Lebar : 22 Meter
Draught: 6.9 Meter
Bobot : 16,640 Ton
(sebagai perbandingan Kapal terbesar TNI-AL sekarang
adalah Fregat Kelas tribal “hanya” yg berbobot 3.250 Ton)
Power Plant: 2 Shaft geared steam trubine engine
6 Boiler , 110,000 HP
Kecepatan Maks: 32.5 Knot
Tebal lapisan baja:
->Belt :100 mm
->Tower:150 mm
->Dek :50 mm
->Turret: 75 mm

Persenjataan utama
->10 Tabung Torpedo anti Kapal Kaliber 533 mm
->12 Buah Kanon tipe 57 cal B-38 Kaliber 15.2 cm ( 6 depan , 6 Belakang)
->12 Buah Kanon ganda tipe 56 cal Model 1934 6 (twin) SM-5-1 mounts Kaliber 10 cm
->32 Buah kanon multi fungsi kaliber 3.7 cm
->4 Buah triple gun Mk5-bis turrets kaliber 20 mm (untuk keperluan Anti serangan udara)
0 comments

Tragedi Bintaro











(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Mayat-mayat begelimpangan, sebagian dalam keadaan tidak utuh. Bau darah anyir memenuhi udara. Tubuh-tubuh yang lain terjepit di antara besi-besi, sebagian masih hidup. Hari itu 19 Oktober 1987. Dua buah kereta api yakni KA255 jurusan Rangkasbitung – Jakarta dan KA 220 cepat jurusan Tanahabang – Merak bertabrakan di dekat stasiun Sudimara, Bintaro. Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka.

Peristiwa itu merupakan yang terburuk setelah peristiwa tabrakan kereta api tanggal 20 September 1968, yang menewaskan 116 orang. Tabrakan terjadi antara kereta api Bumel dengan kereta api cepat di Desa Ratujaya, Depok.

Bermula ketika KA 225, Stasiun Sudimara pada pukul 6:45. Selang 5 menit kemudian, Jamhari, (petugas PPKA Sudimara) menerima telepon dari Umriadi (Petugas PPKA Kebayoran Lama) yang mengabarkan KA no.220 berangkat menuju Sudimara. Jamhari pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 yang berada di jalur 3 dilansir ke Jalur 1.
Di kilometer 18 dari Stasiun Tanah Abang peristiwa terjadi. Mendekati Kampung Bintaro seperti biasa, peluit kereta dibunyikan oleh masinis Slamet. Namun dari arah yang berlawanan tiba-tiba datang KA 220. Tak ayal dua lokomotif yang terdiri dari tujuh gerbong dan sama-sama sarat dengan penumpang tersebut bertabrakan secara frontal. Beberapa penumpang yang duduk di atas atap sempat melompat namun sebagian lagi tidak sempat menyelamatkan diri. Akibatnya kondisi gerbong yang beradu muka sama-sama hancur mengenaskan.

Polisi menyebutkan, kesalahan terindikasi dilakukan oleh Pemimpin Perjalanan KA (PPKA) Stasiun Serpong yang lalai melihat tanda di komputer bahwa kereta dari arah Stasiun Sudimara sudah diberangkatkan. Tanpa melihat komputer, ia langsung memberangkatkan KA jurusan Jakarta. Sementara dari arah Jakarta (Stasiun Sudimara) pun kereta sudah melaju.

Akibat tragedi tersebut masinis Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, maka ia memilih pulang ke kampung halamannya menjadi petani di Purworejo sana. Kini ia menapaki masa senjanya dibalut kemiskinan dan menanti seberkas sinar terang untuk memperoleh pengakuan atas jerih payah pengabdian selama lebih 20 tahun di atas roda besi.

Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei (kondektur KA 225). Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umriadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.

Sedangkan seorang mantan pengatur sinyal kereta api yang juga dinyatakan bersalah dan kini menapaki masa tua juga dengan penuh penantian. Meskipun setelah melalui banding, ia sudah diputus tidak bersalah, namun hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun. Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk nostalgia dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.

Dan Iwan Fals pun melantunkan kepiluan tragedi nasional itu. Sembilan belas Oktober tanah Jakarta berwarna merah. Meninggalkan tanya yang tak terjawab, bangkai kereta lemparkan amarah. Air mata… air mata….
2 comments

Mengenang HUT Pertama Proklamasi Indonesia














(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Serdadu dari divisi India Fighting Cock tentara Sekutu mengepung kediaman PM Sutan Sjahrir di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, untuk mencegah jangan masuk orang menghadiri upacara keesokan hari yaitu peresmian Tugu Kemerdekaan yang didirikan di halaman muka. Namun, waktu senja mulai berdatangan gadis-gadis berpakaian putih yang semalam-malaman memasang lilin sekitar tugu bersahaja, kecil, terbuat dari batu dan semen.

Rombongan gadis itu bisa lolos menerobos lingkaran serdadu-serdadu Sekutu. Mereka amat bersemangat menghadiri upacara peresmian Tugu Kemerdekaan yang dilakukan PM Sjahrir. Masa itu, Sjahrir disapa akrab dengan panggilan Bung Kecil. Tugu itu bisa didirikan atas inisiatif sekumpulan kaum perempuan yang secara menantang memberi kesaksian atas keberadaan Republik Indonesia yang diproklamasikan satu tahun lalu.

Kini Tugu itu, bersama rumah kediaman Presiden dan Perdana Menteri, tempat proklamasi kemerdekaan diumumkan Soekarno-Hatta, telah digusur atas “petunjuk” Presiden Soekarno. Sepotong sejarah telah hilang. Tiada pernah lagi generasi muda dapat bertamasya melihat-lihat bagaimana rupa dan keadaan rumah tempat proklamasi kemerdekaan diucapkan. Saya tidak hadir pada peresmian Tugu Kemerdekaan di Jakarta karena berada di Yogyakarta menghadiri perayaan HUT pertama proklamasi di Gedung Negara tempat kediaman Presiden Soekarno yang sejak tanggal 4 Januari 1946 bersama Wapres Hatta hijrah dari Jakarta.

Naik andong bersama Mien Usmar Ismail, wartawan Belanda Frans Goedhart dan Dolf Verspoor pada malam tanggal 17 Agustus, saya menyisir Jalan Malioboro menuju gedung yang di zaman kolonial merupakan kediaman Gouverneur Adam. Yogyakarta kurang tenaga listrik, jalanan kelam taram temaram. Bendera Merah Putih tidak begitu banyak. Trotoar Malioboro dilalui rakyat yang mondar- mandir. Tiba depan halaman Gedung Negara tampak rakyat yang menonton dari luar. Tidak banyak. Penjagaan polisi tidak ketat. Pengawal presiden seperti zaman sekarang belum ada. Protokol berjalan santai. Kesan umum yang diperoleh ialah serba kesederhanaan, keterbatasan. Segera kami berdiri dalam barisan menunggu giliran menyampaikan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Acaranya biasa-biasa saja. Presiden mengucapkan pidato, tidak dengan suara menggelora.

Segalanya berlangsung dengan sober atau seadanya. Ruangan tidak terang benderang hingga saya agak sukar mengenali orang. Sugandi, ajudan Presiden, tentu jelas kelihatan, begitu pula Ruslan Batangtaris, ajudan Wapres. Ada saya lihat tubuh gempal Kolonel Djoko Suyono dari Badan Perjuangan, kelak jadi tokoh pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, beserta pemimpin pemuda Sumarsono yang masih hidup dan kini berdiam di Australia. Saya lihat Boes Effendi dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang kelak menjadi diplomat. Kedua wartawan Belanda yang ikut bersama saya ialah Frans Goedhart, pemimpin redaksi surat kabar Het Parool, anggota Partij van den Arbeid dan Nazi Jerman.

Frans tersohor sebagai penulis dengan nama samaran Pieter ’t Hoen. Dolf Verspoor kendati warga Belanda bekerja untuk kantor berita Perancis, AFP. Dolf pengagum sajak-sajak Chairil Anwar dan kelak memperkenalkan puisi Indonesia kepada publik Belanda dan Perancis. Kedua wartawan itu tidak memakai setelan baju lengkap, hanya mengenakan seragam pantalon kemeja warna coklat muda seperti yang dipakai tentara Amerika. Berangsur-angsur barisan bergerak. Frans Goedhart yang berada di muka sudah berjabatan tangan dengan Presiden Soekarno dan Wapres Hatta.

Dolf Verspoor menyusul, tetapi ketika dia mengulurkan tangannya ke arah Ny Fatmawati tahu-tahu Ibu Negara yang memakai kerudung itu tidak mau bersalaman. Dolf yang rupanya mengerti situasi dengan cepat hanya menundukkan kepala sejenak sebagai tanda memberi hormat, lalu berjalan terus. Saya pikir mungkin Ny Fatmawati tidak mau salaman karena Dolf adalah orang Belanda, “musuh kita”. Atau mungkin karena Dolf bukan muhrim, dan menurut tafsir fikih tidak boleh bersentuhan secara fisik? Dolf kemudian tidak bicara tentang “insiden” itu. Saya juga diam saja. Sebab, kejadian tadi saya rasakan agak pijnlijk atawa menyakitkan. Frans Goedhart berkomentar atas pidato Presiden, “Fair on met open vizier, zo is Soekarno” (gagah berani dan dengan pandangan terbuka, begitulah Soekarno). Seorang wartawan lain ialah Graham Jenkins dari surat kabar Australia, The Age.

Dia tidak bersama saya, tetapi ikut Soedarpo Sastrosatomo dari Penerangan Luar Negeri Kementerian Penerangan yang biasa membawa koresponden luar negeri ke pedalaman meninjau situasi nyata Republik. Graham yang pro-Republik menulis, “Penduduk Yogya masih dapat makanan cukup dan di toko-toko masih bisa dibeli cukup barang. Ongkos penghidupan murah. Jalan-jalan penuh dengan serdadu, tetapi jumlah kendaraan bermotor kurang. Bensin cukup di Republik, tetapi persediaan ban mobil payah”. Inilah sekelumit kenangan wartawan tentang keadaan saat itu, saat saya jadi redaktur pertama harian Merdeka.
0 comments

DEMAK DAN PAJANG













(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Kerajaan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.

CIKAL BAKAL
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Demak didirikan di perapat terakhir abad ke-15, kemungkinan besar oleh seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po[1]. Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, raja Yunus dari Jepara.
Tradisi Jawa menceritakan bahwa pada masa itu, arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.

Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto

Kemunduran
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh adik Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pengging.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

KERAJAAN PAJANG
Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.

Sesungguhnya nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Andayaningrat.

Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim di Pasisir
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.

Perkembangan
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Trenggana.
Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya.
Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.

Peran Wali Songo
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.

Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar.

Keruntuhan
Sepulang dari perang, Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.

Daftar Raja Pajang
1. Jaka Tingkir atau Hadiwijaya
2. Arya Pangiri atau Ngawantipura
3. Pangeran Benawa atau Prabuwijaya

Kepustakaan
• Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
• Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
• Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3. 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
• Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
• H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
• Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
• Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
• Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
• Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
• Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
0 comments

Sejarah Batik Indonesia












(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia :

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.
0 comments

PERANG PAREGREG











(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Perang Paregreg adalah perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.

Berdirinya Kerajaan Majapahit Timur
Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293 berkat kerja sama Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Pada tahun 1295, Raden Wijaya membagi dua wilayah Majapahit untuk menepati janjinya semasa perjuangan. Sebelah timur diserahkan pada Arya Wiraraja dengan ibu kota di Lumajang.
Pada tahun 1316 Jayanagara putra Raden Wijaya menumpas pemberontakan Nambi di Lumajang. Setelah peristiwa tersebut, wilayah timur kembali bersatu dengan wilayah barat.
Menurut Pararaton, pada tahun 1376 muncul sebuah gunung baru. Peristiwa ini dapat ditafsirkan sebagai munculnya kerajaan baru, karena menurut kronik Cina dari Dinasti Ming, pada tahun 1377 di Jawa ada dua kerajaan merdeka yang sama-sama mengirim duta ke Cina. Kerajaan Barat dipimpin Wu-lao-po-wu, dan Kerajaan Timur dipimpin Wu-lao-wang-chieh.
Wu-lao-po-wu adalah ejaan Cina untuk Bhra Prabu, yaitu nama lain Hayam Wuruk (menurut Pararaton), sedangkan Wu-lao-wang-chieh adalah Bhre Wengker alias Wijayarajasa, suami Rajadewi.
Wijayarajasa rupanya berambisi menjadi raja. Sepeninggal Gajah Mada, Tribhuwana Tunggadewi, dan Rajadewi, ia membangun istana timur di Pamotan, sehingga dalam Pararaton, ia juga bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan.

Silsilah Bhre Wirabhumi
Perang Paregreg adalah perang yang identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi.
Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk).
Menurut Nagarakretagama, istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup.
Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk, menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.

Perang Dingin Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat dan timur masih diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk.
Wijayarajasa meninggal tahun 1398. Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai raja istana timur. Sementara itu Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardhana.
Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tapi Wikramawardhana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Halemu istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.
Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400. Wikramawardhana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel.

Terjadinya Perang Paregreg
Setelah pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara istana barat dan timur berubah menjadi perselisihan. Menurut Pararaton, Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana bertengkar tahun 1401 dan kemudian tidak saling bertegur sapa.
Perselisihan antara kedua raja meletus menjadi Perang Paregreg tahun 1404. Paregreg artinya perang setahap demi setahap dalam tempo lambat. Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan pihak barat.
Akhirnya, pada tahun 1406 pasukan barat dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardhana menyerbu pusat kerajaan timur. Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri menggunakan perahu pada malam hari. Ia dikejar dan dibunuh oleh Raden Gajah alias Bhra Narapati yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya istana barat.
Raden Gajah membawa kepala Bhre Wirabhumi ke istana barat. Bhre Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung bernama Girisa Pura.

Akibat Perang Paregreg
Setelah kekalahan Bhre Wirabhumi, kerajaan timur kembali bersatu dengan kerajaan barat. Akan tetapi, daerah-daerah bawahan di luar Jawa banyak yang lepas tanpa bisa dicegah. Misalnya, tahun 1405 daerah Kalimantan Barat direbut kerajaan Cina. Lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai, yang merdeka dari Majapahit. Kemudian lepas pula daerah Brunei yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara.
Selain itu Wikramawardhana juga berhutang ganti rugi pada Dinasti Ming penguasa Cina. Sebagaimana disebutkan di atas, pihak Cina mengetahui kalau di Jawa ada dua buah kerajaan, barat dan timur. Laksamana Ceng Ho dikirim sebagai duta besar mengunjungi kedua istana. Pada saat kematian Bhre Wirabhumi, rombongan Ceng Ho sedang berada di istana timur. Sebanyak 170 orang Cina ikut menjadi korban.
Atas kecelakaan itu, Wikramawardhana didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 ia baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Ceng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan.
Setelah Perang Paregreg, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita yang naik takhta tahun 1427 menggantikan Wikramawardhana. Pada pemerintahan Suhita inilah, dilakukan balas dendam dengan cara menghukum mati Raden Gajah tahun 1433.

Perang Paregreg dalam Karya Sastra Jawa
Peristiwa Paregreg tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa dan dikisahkan turun temurun. Pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah Paregreg dimunculkan kembali dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan.
Dikisahkan dalam Serat Kanda, terjadi perang antara Ratu Kencanawungu penguasa Majapahit di barat melawan Menak Jingga penguasa Blambangan di timur. Menak Jingga akhirnya mati di tangan Damarwulan utusan yang dikirim Ratu Kencanawungu. Setelah itu, Damarwulan menikah dengan Kencanawungu dan menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Mertawijaya. Dari perkawinan tersebut kemudian lahir Brawijaya yang menjadi raja terakhir Majapahit.

Kepustakaan
• M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
• Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
• Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
0 comments

KISAH PUTROE PHANG : Permaisuri Asal kerajaan Aceh Darussalam














(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Pada abad ke-17 Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengalami masa keemasan dan termasuk salah satu kekuatan adi daya di dunia khususnya di kawasan Selat Malaka.
Di balik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada orang perempuan di balik layar. Bagi Sultan Iskandar Muda, perempuan di balik layar itu adalah permaisurinya yang bernama Puteri Pahang yang dalam bahasa Aceh lebih dikenal dengan sebutan Putroe Phang.

Perkenalan Sultan Iskandar dengan Puteri Pahang ini berawal ketika Aceh Darussalam berhasil menaklukkan Pahang. Bersamaan dengan itu, keluarga istana Pahang bersama sekitar 10.000 penduduknya berimigrasi ke Aceh untuk memperkuat pasukan Sultan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda rupanya tertarik dengan seorang puteri dan Pahang yang bernama Puteri Kamaliah. Puteri Kamaliah kemudian dinikahi Sultan Iskandar Muda dan diangkat menjadi permaisurinya. Karena Puteri Kamaliah berasal dan Pahang, rakyat Aceh memanggilnya dengan Putroe Phang.

Puteri Kamaliah masyhur karena cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan yang dihadapi masyarakat Aceh Darussalam. Pada suatu hari, terdapat kasus pembagian harta waris dengan dua ahli waris yakni seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Adapun harta yang menjadi objek pembagian adalah berupa sawah dan rumah. Diputuskan bahwa anak perempuan mendapatkan sawah sedangkan anak laki-lakinya mendapat rumah.

Anak perempuan tersebut tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan banding. Mendengar kasus tersebut, Putroe Phang langsung meresponnya dan membela perempuan tersebut dengan argumen bahwa wanita tidak mempunyai rumah dan tidak dapat tinggal di meunasa (mushola) sedangkan anak laki-laki dapat tinggal di musola. Oleh karena itu, yang layak menerima rumah adalah wanita sedangkan yang layak menerima sawah adalah anak laki-laki. Argumen Putroe Phang itu kemudian disetujui oleh Sultan Iskandar Muda.

Sejak itu, Puteri Kamaliah yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Putroe Phang itu menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum.

Kerja sama Sultan Iskandar Muda yang gagah, berani, dan adil dengan Permaisuri Putroe Phang yang bijaksana dan selalu membela rakyat yang lemah terutama wanita dan kaum papah mengantarkan kejayaan Aceh menuju masa keemasan.

Di samping Permaisuri Putroe Phang yang berkontribusi bagi pembangunan Aceh Darussalam, terdapat pula beberapa lembaga pemerintahan. Secara struktural, Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin eksekutif tertinggi yang dibantu beberapa pejabat tinggi. Mereka adalah Qadhi Malikul Adil dengan empat orang mufti di bawahnya, Menteri Dirham (keuangan), Baitul Mal yang dibawahnya ada Balai Furdhan (bea cukai).

Di samping lembaga eksekutif terdapat pula lembaga musyawarah yang terdiri atas:
1. Balairung Sari, terdiri atas empat anggota hulubalang
2. Balal Gading, terdiri atas 22 ulama
3. Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Parlemen), terdiri atas 73 anggota yang mewakili setiap mukim (daerah), Aceh Darussalam dibagi atas 73 mukim.

Balai Sari dan Balai Gading masih merupakan rumpun lembaga eksekutif sedangkan Balai Majelis Mahkamah Rakyat masuk dalam rumpun lembaga legislatif.

Lembaga-lembaga ini secara resmi dibentuk pada tanggal 12 Rabiul Awal 1042 (1633) dan ditulis dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Qanun Al-Asyi Darussalam.

Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi seorang puteri yang bernama Puteri Sari Alam yang menikah dengan Sultan Iskandar Tsani dan setelah suaminya itu meninggal Puteri Sari Alam naik tahta menjadi Sultanah dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

Sultan lskandar Tsani juga dikenal dengan Raja Mughal. Ia adalah putera dan Raja Ahmad Syah Pahang. yang termasuk keluarga Pahang yang dibawa Sultan Iskandar Muda ke Aceh. Nama asli Puteri Pahang adalah Puteri Jamilah (ada yang menyebut “Kamaliah”) yang juga terkenal dengan nama Putroe Phang. Menurut satu riwayat. perkawinan Puteri Pahang dengan Sultan Iskandar Muda berlangsung setelah melalui peristiwa yang sangat luar biasa.

Pada suatu hari Sultan Pahang bersama Permaisurinya yang bernama Puteri Jamaliah (Putroe Phang) menghadap Sultan Iskandar Muda dan dalam pertemuan itu Sultan Pahang yang bernama Raja Abdullah (Raja Raden) menyatakan mengetahui niat suci Iskandar Muda menaklukan kerajaannya demi memperjuangkan agama dan menyingkirkan kawasan Melayu dan imperialis Barat dan untuk itu rela menceraikan istrinya untuk dinikahi Sultan Iskandar Muda.

Setelah mendapatkan persetujuan dan keluarga permaisuri Puteri Sendi Ratna Indra (permaisuri pertama). Sultan Iskandar Muda bercerai dengan Puteri Sendi Ratna Indra. Setelah masing-masing istri menyelesaikan masa iddahnya, Sultan Iskandar menikah dengan Puteri Jamaliah dan Raja Abdullah menikah dengan Puteri Sendi Ratna lndra.

Bukti cinta Sultan Iskandar Muda terhadap Putroe Phang adalah bangunan Gunongan. Bangunan ini dibangun untuk membuktikan cintanya kepada Putroe Phang.

Putroe Phang sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan penyusunan undang-undang kerajaan sampai-sampai lahir semboyan:

Adat bak Poeu Meureuhom
Hukum bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Bentara

Artinya:
Adat dari Marhum Mahkota Alam
Hukum dan Syiah Kuala
Qanun dan Puteri Pahang
Resam dan Bentara (‘uleebalang)

Adat meukoh reubung
Hukum Meukoh purih
Adatjeutabarangho takong
Hukum hanjuet barangho takih

Artinya:
Adat dapat dipotong seperti memotong rebung
Hukum seperti memotong sagak (hujung buluh keras)
Hukum tak dapat diatur dengan semena-mena
(melainkan wajib didasarkan Quran dan Hadis)

Ketika Putri Phang mangkat, upacaranya dilakukan dengan megah dan khidmat. Kain jendela dan tirai Istana Keraton Darud Dunia diganti dengan kain warna hitam. Upacara pelepasan dilaksanakan dengan khidmat seperti dilukiskan oleh Muhammad Junus Djamil sebagai berikut:

“Ketika jenazah diturunkan dan Istana, Sultan Iskandar Muda turun di depan, didampingi dua bentara keraton yang berpakaian serba hitam berselempang merah. Yang di sebelah kanan memegang pedang terhunus bersandar di bahu kanannya dan yang disebelah kirinya memegang payung hitam terbuka yang disebut Payoong panyang-go. Di Mideuen (halaman istana) telah siap segenap barisan dan setelah berhenti sejenak tampil ke muka bentara Keujruen Tandil Keraton Darud Dunia (Tandil Mujahid Chik Seri Dewa Purba) untuk mengucap berita duka dan memohon doa selamat kepada Allah SWT serta selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keranda jenazah yang berhias serba indah dengan hiasan keemasan dan permata diletakkan di atas tandu keemasan yang berbentuk segitiga. Masing-masing ujung segitiga dipikul oleh tiga pembesar dan tiga dewan negara, yaitu dewan Mong-mong Angkatan Laut, Angkatan Darat. Didepan sekali berdiri Ketua Dewan Mufti empat (Khuja Madinah) yang lebih terkenal dengan Khuja Pakeh yang berpakaian serba putih (sorban dan jubah) dengan tongkat di tangan kanannya. Di belakangnya diikuti dua pembesar negara Perdana Menteri Seri Ratna Bijaya Sang Raja Meukuta Dilamcaya yang bernama Orang Kaya Seri Maharaja Laila dan Qodli Malikul Adil, keduanya memegang jambangan air mawar yang dibuat dari emas berhias permata. Di belakang mereka, dua orang Bentara yang membawa jambangan teurapan-geutanggi yang mengeluarkan asap dari pembakaran ramuan-ramuan setanggi yang harum semerbak baunya.

Di sebelah kanan keranda (peti jenazah) berdiri Laksamana Meurah Ganti yang berpakaian serba hitam, berselimpang merah serta pedang yang terhunus bersandar di bahunya. Di sebelah kiri berdiri Bentara Tandil (Datuk Bendahara Muhammad Tun Sari Lanang) yang mengembangkan payung kuning keemasan yang berumbai mutiara ke atas keranda dan beliau juga berpakaian hitam dan teungkulook leumbayung di kepalanya, serta berselempang merah. Di bagian belakang jenazah (diantara dua cabang tandu) berdiri Seri Sultan Iskandar Muda yang diikuti di belakangnya sebelah kanan oleh Putera Mahkota (Poteu Cut) dan di belakang sebelah kiri adalah menantu beliau, Pangeran Husain Mughayat Syah bin Sultan Ahmad Perak. Di belakangnya barulah barisan menteri-menteri dan raja-raja serta iringan yang berjumlah ratusan mengikuti di belakang mereka.

Setelah selesai ucapan berita duka barisan bergerak menuju Masjid Raya Baiturrahman dan setelah selesai upacara shalat jenazah, jenazah kembali ke Kraton Darud Dunia dan terus menuju ke pemakaman raja-raja/Sultan. Keranda jenazah dibawa masuk ke dalam makam lalu dilaksanakan upacara pemakaman. Yang turun ke dalam liang lahat adalah Laksamana Meurah Ganti dan Datuk Bendahara Muhammad Tun Seri Lanang (Bentara Tandil Samalanga). Ke dalam Keranda ditungkanlah emas urai (pasir tanah) sekitar tubuh jenazah Putroe Pahang, keranda (peti mati) ditutup lalu di timbun dengan tanah sebagaimana biasa dan acara pemakaman selesai.

Gambar: Taman Putroe Phang (Bangunan Gunongan) : Bukti Cinta Sultan Iskandar Muda terhadap Permaisurinya
0 comments

Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta












(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Sejak jaman Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Istana Kepresidenan Jakarta dan juga Istana-istana di daerah menyimpan benda-benda seni bersejarah, mulai dari lukisan hingga patung-patung. Semua Istana Kepresidenan itu memiliki museum sendiri, salah satunya adalah Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta yang terletak di kompleks Istana kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung.

Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta adalah sebuah bangunan yang aslinya didirikan tahun 1915 dan memiliki luas 5.600 meter persegi. Museum ini terletak di bagian selatan kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, bersisian dengan jalan K.H. Ahmad Dahlan. Bangunan yang semula bernama Museum Seni Sono itu tadinya merupakan Kompleks Seni Sono milik Depertemen Penerangan RI. Bangunannya pun terpisah dari Gedung Agung. Namun, sejak tahun 1995-1996 menjadi bagian dari Gedung Agung.

Awalnya, Kompleks Seni Sono yang dibangun Belanda tahun 1911 ini merupakan bangunan milik Kantor Departemen Penerangan RI dan terakhir kali dipergunakan sebagai kantor PWI/Antara. Kemudian pada tahun 1995, Kompleks Seni Sono ini dipugar. Proses pemugarannya memakan waktu 3 tahun. Setelah itu, Presiden B.J. Habibie meresmikan penggunaannya kembali, dan perawatannya pun menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Di masa lalu, bangunan ini pernah dipakai sebagai soos atau societeit (wisma rekreasi bagi warga asing), sebelum kemudian menjadi gedung bioskop dan terakhir kali dipakai sebagai galeri seni.

Kompleks Seni Sono dan kemudian menjadi Museum Seni Sono dipugar dengan corak arsitektur Gedung Agung sebagai acuan untuk menciptakan kesan serasi. Bangunan baru Museum Seni Sono terdiri dari auditorium, tempat penyimpanan koleksi benda-benda seni, galeri pameran, dan perkantoran. Auditorium Seni Sono semula adalah gedung Seni Sono yang dibangun pada tahun 1915 dan diperuntukkan sebagai tempat pertunjukan kesenian terpilih yang berkaitan dengan acara kenegaraaan.

Tempat untuk penyimpanan koleksi benda-benda seni tadinya adalah bangunan kuno yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1911, sementara bangunan yang tadinya digunakan sebagai kantor PWI/Antara sekarang digunakan sebagai ruang pameran II. Sedangkan bangunan yang diperuntukkan untuk gedung pameran I dan perkantoran sebelumnya adalah bangunan kantor Departemen Penerangan.

Menurut Ita, staf Rumah Tangga dan Protokol Istana Kepresidenan Yogyakarta yang menangani Museum Istana, penyebutan Museum Seni Sono menjadi Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta ini diberlakukan pada tahun 2009. Pada waktu itu ada pelimpahan barang-barang seni dari Istana Kepresidenan Jakarta ke masing-masing Istana Kepresidenan yang ada di daerah karena setiap Istana Kepresidenan diharuskan memiliki museum sendiri.

Pada tahun 2009 itulah, museum ini mulai diisi dengan barang-barang limpahan dari Gedung Bina Graha Jakarta selain benda-benda seni yang tadinya memang sudah ada di Museum Seni Sono itu sejak jaman Presiden Soekarno.

“Sejak tahun 2009, menjadi Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. Museumnya itu sendiri tahun 2009 baru kita isi dengan limpahan barang-barang dari museum Istana Jakarta yang dulu berada di Bina Graha,” Ita menjelaskan. “Tahun 2009 dimulai pengaturan, tahun 2010 mulai perkenalan dengan Badan Musyawarah Museum yang ada di Yogyakarta,” tambahnya.

Jika ada tamu ataupun masyarakat yang berkunjung ke Gedung Agung, pihak Istana Yogyakarta selalu membawa tamu-tamu tersebut ke dalam museum, kecuali untuk pengunjung usia SD dan SMP dengan alasan keamanan. “Kami hanya memperbolehkan untuk pengunjung mulai dari tingkat SMA ke atas. Untuk pengunjung dari tingkat SD atau SMP belum kami perbolehkan karena alasan keamanan benda-benda yang ada di museum. Mereka kan tingkat kehati-hatiannya masih kurang,” Ita mengungkapkan.

Adapun upaya penyatuan Seni Sono menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Yogyakarta adalah sebagai upaya penataan sekaligus memberikan tempat terhormat bagi pementasan dan pameran seni bagi kota Yogyakarta.
0 comments

Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo di Wilayah Bengkulu


















(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)

Bagi umat Islam keberadaan Mesjid tanpa ulama, seperti ikan kehilangan air. Di sebuah wilayah jika memiliki sebuah masjid besar, dipastikan juga memiliki beberapa tokoh ulama besar di sana. Nah, di Bengkulu di kenal seorang ulama besar bernama Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo, Yang telah mengajarkan Tradisi Tabot. Yakni sebuah Ritual perayaan mengenang kepahlawanan cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husein, yang gugur dalam perang Karbala, pada 10 Muharram 61 H (681 M).
Istilah Tabot berasal dari Bahasa Arab yaitu Tabut, secara Harafiah berarti ''kotak kayu'' atau ''peti''. Perayaan Tabot dilaksanakan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram. Dalam terminologi Al-Qur'an, kata ''Tabot'' diketahui sebagai sebuah Peti yang berisi kitab Taurat.
Bagi kaum bani Israil pada masa itu dipercaya bahwa kebaikan akan mereka peroleh bila Tabot berada di tangan Pemimpin. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan malapetaka bila Tabot Hilang.
Tidak ada catatan tertulis perayaan Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Dugaan kuat menyatakan tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja bangunan yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Pekerja bangunan benteng didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Dimana penduduk wilayah selatan India mayoritas pemeluk Islam Syi'ah.
Kaum pekerja bangunan ini merasa nyaman dengan tata hidup mesyarakat Bengkulu. Mereka memutuskan untuk menetap, menikah dengan perempuan Bengkulu, dan membangun pemukiman baru yang disebut Berkas. Daerah Berkas kini adalah kelurahan Tengah Padang. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Orang Sipai. Selama tinggal di Bengkulu, kaum pekerja ini dipimpin oleh seorang guru Spiritual, yakni Syekh Burhanuddin,.
Syekh Burhanudiin dikenal sebagai ulama Kharismatik. Beliau mengajarkan Prinsip ajaran Syi'ah kepada masyakarat Bengkulu. Beliau lalu menikahi perempuan Bengkulu. Anak, cucu, dan keturunan Syekh Burhanuddin disebut keluarga Tabot. Syekh Burhanuddin memperkenalkan perayaan Tabot kepada masyarakat Bengkulu sekitar Tahun 1685.
Perayaan Tabot kemudian mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Lalu dilembagakan menjadi Upacara Tabot. Tradisi ini meluas ke seluruh Bengkulu hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Singkil,Meulaboh,
Banda Aceh, dan Pidie. Tradisi Tabot masuk wilayah Sumbar sekitar tahun 1831 dimulai dari wilayah pesisir barat.
Tradisi Tabot pada awalnya digunakan penganut Syi'ah untuk mengenang gugurnya Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun sejak, orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi'ah, perayaan Tabot dilakukan sebagai kewajiban keluarga memenuhi wasiat leluhur mereka. Dalam perkembangannya, selain melaksanakan wasiat leluhur, perayaan Tabot dilaksanakan sebagai wujud Partisipasi orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat. Sehingga perayaan Tabot dilembagakan menjadi Upacara Tabot.
Seiring lajunya Zaman, tradisi Tabot menghilang di berbagai tempat. Hanya Bengkulu dan Pariaman yang masih memiliki akar tradisi Tabot yang kuat. Di Bengkulu nama Upacara Tabot tetap digunakan. Sedangkan di Pariaman, upacara Tabot dikenal dengan sebutan Tabuik.
Syekh Burhanuddin kemudian wafat dan dimakamkan di pemakaman umum yang dikenal dengan nama makam Karbala. Peninggalan beliau adalah tradisi Tabot yang memiliki makna Humanis yang mendalam. Tradisi Tabot mengandung arti kepada manusia akan perilaku penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan yang berakhir kepada perpecahan umat. Tradisi Tabot juga merupakan simbolisasi sebuah keprihatinan sosial terhadap konflik kekuasaan yang menghancurkan tatanan masyarakat madani.
0 comments

TENTANG SYEKH AL-MUTAMMAKIN


















Siapakah Syekh Al-Mutamakkin?
Dalam Serat Cebolek disebutkan, Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama kampung, berseteru dengan ulama birokrat (Keraton Solo) yang diwakili oleh Katib Anom Kudus. Dalam serat ini dikisahkan, Syekh Ahmad Mutamakkin mengajarkan ilmu hakikat (tasawuf) kepada khalayak ramai. Namun, ajaran ini dianggap sesat oleh sejumlah ulama lain, termasuk Katib Anom.
Katib Anom lalu melaporkan hal ini pada pihak Kerajaan Kartasura di Solo. Pengadilan pun dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin. Menurut Gus Dur, pandangan ulama-ulama itu begitu tampak membebek dengan kekuasaan. Sementara itu, Syekh Ahmad Mutamakkin berani melakukan perlawanan kultural dengan kekuasaan yang dianggap salah.
Syekh Ahmad Mutakkim adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa khususnya wilayah Pati.
Syekh Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut.
Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa Kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “Cebolek” seperti desa kelahiran beliau.


Silsilah Syekh Al-Mutamakkin?
Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
penjelasanya
Versi Kajen / Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
- Brawijaya V (Raja Wilwatikta terakhir)
- Raden Patah Sayid Ali Akbar (Sultan Demak )
- Sultan Trenggono
- Putri Sultan Trenggono menikah dg Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor (Joko Tingkir)
- Sumo Hadiningrat Raden Tanu (Pangeran Benowo)
- Sumohadinegoro menikah dengan Putri Raden Tanu
- Syekh Ahmad Mutamakkin

Perjalanan Syekh Al-Mutamakkin?
Dalam masa hidupnya syekh Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu.
Tidak diketahui secara pasti kapan syekh Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syekh Zayn ( Syekh Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII.
Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syekh Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.

Bagaimana syekh Al-Mutamakkin menyebarkan Islam?
Dalam serat Cebolek diceritakan bahwa Syekh Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat.
Syekh Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasawuf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti.
Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Hal penting yang dapat diambil pelajaran dari seorang syekh Ahmad Mutamakkin adalah kecerdasan dan kepiwaian dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual. Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Beliau lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. Melalui strategi kultural ini beliau menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Beliau berbicara sesuai dengan nafas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi.
 
Apa itu serat Cebolek?
Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.
Kisah dalam Serat ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks.
Tetapi sebuah teks dari desa Kajen, Pati,mengisahkan “serat” yang berbeda, di mana Kiai Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang benar. Kisah Kiai Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir “tipikal” dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”, ilmu hakikat dan ilmu syari’at, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, “serat resmi,’” dan “serat rakyat’.

0 comments

RANGKUMAN SNI III












Rangkuman SNI III

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid ke-III ini yang berjudul Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan islam di Indonesia diutarakan peristiwa-peristiwa sejarah dari masa kedatangan islam,Serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak islam dipesisir kepulauan Indonesia. jangkauan waktu peristiwa-peristiwa yang di uraikan itu pada umunya sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-18.
Peristiwa-peristiwa sejarah tersebut sebagian diuraikan secara Strukturil & sebagian lagi secara Prosesuil. Hal ini dimaksudkan agar peristiwa-peristiwa sejarah tersebut dapat memberikan gambaran struktur terhadap social-ekonomi dan social-budaya bangsa Indonesia khususnya pada masa-masa tersebut diatas.
Buku dengan tebal halaman 412 tersebut di susun oleh Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. seyogyanya buku sejarah nasional Indonesia itu ada 6 jilid tapi disini saya akan sedikit mengulas yang jilid ke-3 saja. Tak dipungkiri Indonesia dengan Negara kepulauan terbanyak di dunia menyimpan sejuta lebih peristiwa yang sayang untuk dilewatkan dari mulai jaman prasejarah sampai kini. Tak akyal mengapa sejarawan dunia banyak yang mengatakan awal kehidupan manusia ini berada di Negara ini atau yang biasa di sebut dengan atlantis.
Menelaah dan masuk lebih dalam tentang buku SNI III ini, terdapat 5 bab di dalamnya dan di dalam bab tersebut terdapat beberapa sub bab. Bab pertama isi buku ini mengulas tentang “Pelayaran dan Perdagangan” di bab ini berisi tentang teknologi dan pusat pelayaran,bagaimana cara orang pada jaman itu berlayar,bagaimana cara berdagang pada waktu itu,dan tempat-tempat mana saja yang pas &  pantas untuk berdagang dan dijadikan pusat pelabuhan pada waktu itu.
Selanjutnya di bab ke dua ini  membahas tentang “Perkembangan Agama & Budaya Islam” di bab ini lebih di tekankan pada situasi serta kondisi politik & social budaya masa kedatangan  islam,saluran-saluran dan cara apa saja islam datang ke Indonesia,serta aliran-aliran apa saja yang ada di Indonesia & pengaruhnya.
Dan di bab ke tiga ini adalah “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota” sub babnya terdiri dari corak kota yang di pengaruhi islam,jumlah penduduk,system ekonomi,system pemerintahan,tempat-tempat ibadah,dan lingkungan perkembangan islam di sana.
Masuk di bab ke empat ini adalah “Struktur Birokrasi Kerajaan-Kerajaan” materinya terdiri dari kekuasaan pemerintah pusat & daerah,hubungan pusat & daerah,dan hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lain di Indonesia.
Dan di bab terakhir ini atau di bab ke lima “Reaksi Kerajaan-Kerajaan Islam terhadap Penetrasi Barat” disini lebih di tekankan bagaimana situasi kerajaan-kerajaan & penetrasi barat,dan reaksi kerajaan akan politik barat dan taktik perang apa saja yang dilakukan kedua Negara ini dan sebab akibat dari peperangan itu.
Itulah sedikit kilas tentang isi dari buku SNI III itu inti dari buku SNI III ini lebih kepada bagaimana islam bisa masuk ke Indonesia dan apa pengaruhnya.
0 comments

KERAJAAN CIREBON
















(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan sumber lainya)
Kerajaan Cirebon

Asal muasal

Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Pimpinan Cirebon

1.Ki Gedeng Tapa (pendiri)
2.Ki Gedeng Alang-Alang, menggantikan ki Ki Gedeng Tapa. Sebagai wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja, Raja Sunda-Galuh/Pajajaran)
3.Raden Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, Sultan Cirebon Pertama

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran (Kerajaan Sunda Galuh saat itu lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, Jadi ga usah bingung Sunda Galuh Bersatu=Pakuan Pajajaran=Pajajaran). Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon

4.Sunan Gunung Jati (1479-1568)
5.Fatahillah (1568-1570)
6.Panembahan Ratu I (1570-1649)
7.Panembahan Girilaya alias Panembahan Ratu II (1649-1677)

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon

maka semenjak itu, penguasa di Kesultanan Cirebon diangkat oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, artinya Kesultanan Cirebon menjadi vassal state Kesultanan Banten.
0 comments

KERAJAAN SUMEDANG LARANG














(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan sumber lainya)
Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yangdidirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.

Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.
Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang\t

    Prabu Guru Aji Putih\t900
    Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela\t950
    Prabu Gajah Agung\t980
    Sunan Guling\t1000
    Sunan Tuakan\t1200
    Nyi Mas Ratu Patuakan\t1450
    Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata\t1530 - 1578
    Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya\t1578 - 1601

Akhir Kerajaan Sumedang Larang
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan (sunda-Galuh) menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Maka sejak itu Kerajaan Sumedang Larang menjadi vassal state Mataram Islam.
0 comments

KESULTANAN BANTEN












(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan sumber lainya)
Kesultanan Banten saya masukin kedalam jajaran Kerajaan Sunda karena tentu saja penduduknya masih orang Sunda, dan setelah meruntuhkan Pajajaran, Banten Mengklaim bahwa mereka adalah penerus kerajaan Pajajaran

Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
0 comments

DOKUMENTASI KEJAHATAN PERANG JEPANG

(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan sumber lainya)















1. Jugun Ianfu ( Comfort Women )

Jugun Ianfu adalah istilah Jepang terhadap perempuan penghibur tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik, istilah asing lainnya adalah Comfort Women. Pada kenyataannya Jugun Ianfu bukan merupakan perempuan penghibur tetapi perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang.

2. Romusha

Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.

3. Pembunuhan Massal di Nanjing (Dec. 1937 - Feb. 1938)

Pembunuhan massal Nanjing ( Rape of Nanjing/Nanjing Massacre ) dilakukan oleh militer Jepang di Nanjing, hal ini dimulai setelah Cina jatuh ke tangan Jepang dan berakhir sekitar akhir 1938. Lebih dari 300.000 ribu rakyat cina dibunuh, diperkosa, disiksa.

Jepang secara konstan menolak terjadinya pembunuhan massal ini, dan mencoba mengubah sejarah dengan mengklaim Jepang adalah pemersatu Asia.

4. Kompetisi Membunuh

Komandan-komandan militer Jepang menggunakan kompetisi membunuh untuk meningkatkan moral para serdadunya, mereka mengundang para penulis berita untuk mempublikasikan pemenangnya di koran-koran.

Salah satu kompetisi membunuh di ZiJin dipublikasikan di koran di seluruh dunia.

5. UNIT 731 : Eksperimen biologi dan kimia terhadap manusia ( Tahanan Perang )

UNIT 731 adalah eksperimen biologi dan kimia Jepang yang dirahasiakan, tahanan perang digunakan dalam eksperimen ini.
Adapun eksperimen itu antara lain :

- Menggantung manusia naik turun untuk melihat berapa lama akan bertahan sebelum tercekik sampai mati.
- Menginjeksi udara ke arteri manusia untuk melihat berapa lama waktu terjadi emboli.
- Meninjeksi urin kuda ke ginjal manusia.
- Tidak memberikan makanan kepada tahanan untuk melihat berapa lama mereka akan bertahan hidup sampai mati.
- Menempatkan manusia di ruangan bertekanan tinggi untuk melihat berapa lama akan bertahan hidup sampai mati.
- Menempatkan manusia di temperatur yang ekstrim untuk melihat bagaimana suhu dapat merusak tubuh manusia dan melihat berapa lama manusia tsb bertahan hidup sampai mati.
- Menggunakan tahanan perang sebagai eksperimen meneliti hubungan antara temperatur, pembakaran, dan ketahanan hidup.
- Menempatkan manusia dalam mesin pemutar untuk melihat berapa lama akan bertahan hidup sampai mati.
- Menginjeksi darah hewan ke manusia untuk mempelajari efeknya.
- Menggunakan radiasi sinar-x tinggi kepada tahanan untuk mempelajari efeknya.
- Menempatkan manusia di dalam ruangan gas beracun untuk mempelajari efeknya.
- Menginjeksi air laut untuk melihat apakah dapat mengganti kadar garam dalam tubuh manusia.
0 comments