Featured Post Today
print this page
Latest Post

Polisi Zaman Kumpeni


Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.

Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.

Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.

Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.

Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.

Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.

Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.

Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.

Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.

Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.

Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral. Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).

Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku
Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)

0 comments

Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis


8 Januari 1515 atau 501 tahun yang lalu, Jorge d’Albuquerque, gubernur Portugis di Malaka menulis surat kepada Raja Portugis. Isinya menyebut tiga orang dari Jawa yang membahayakan penguasaan Portugis atas Malaka, yakni pate Quitis (pate Kadir), pate Amoz (pate Unus), dan Pate Rodym (Raden Patah).

Pate Kadir, kepala suku Jawa di Malaka, dianggap berbahaya karena memimpin pemberontakan suku Jawa di Malaka pada 1515. Pemberontakan itu gagal. Sedangkan Pate Unus menyerang Malaka pada 1512, juga mengalami kegagalan. Akibat serangan itu, hubungan dagang antara Jawa dan Malaka memburuk. “Raden Patah sebagai sultan Demak, tetap merupakan saingan berat orang-orang Portugis di Malaka,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.

Menurut Slamet Muljana, tokoh Pate Unus sejak lama dipersoalkan para sarjana yang menyelidiki sejarah Majapahit-Demak. Penjelajah Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut Pate Unus adalah menantu Raden Patah. Ayahnya adalah penguasa Jepara yang berhubungan baik dengan Raden Patah. Sedangkan sumber Tionghoa dari kelenteng Sam Po Kong di Semarang menyebut Pate Unus (Yat Sun) adalah putra dari Raden Patah (Jin Bun).

“Dalam hal ini, berita dari kelenteng Semarang lebih banyak dapat dipercaya daripada uraian Tome Pires,” tulis Slamet Muljana yang juga menganggap informasi Tome Pires tentang asal-usul Raden Patah kurang jitu. Karena Pate Unus tidak tinggal di Demak tetapi menetap di Jepara, maka Tome Pires mengira dia bukan putra mahkota Demak. Yang dianggap putra mahkota Demak adalah Rodin Muda. Rodin adalah bentuk ubahan dari sebutan Raden.

Siapakah Rodin Muda? Serat Kanda menyebut bahwa Pangeran Surya (Pate Unus) adalah anak dari Raden Adipati Bintara (Raden Patah) dengan istri tertua (anak Sunan Giri). Dia memiliki adik bernama Raden Trenggana. Sumber Tionghoa menyebut Raden Trenggana sebagai Tung Ka Lo.

Babad Tanah Jawi menyebut Pate Unus sebagai Pangeran Sabrang Lor. G.P. Rouffaer dalam
Wanneer is Majapahit gevallen? (Kapan Runtuhnya Majapahit?) menafsirkan sebutan itu diperolehnya akibat serangan terhadap Malaka, yang terletak di seberang utara selat.

H.J. de Graaf meyakini bahwa Pangeran Sabrang Lor adalah Rodin Muda (Raden Trenggana). Sedangkan Pate Unus adalah pembesar Jepara yang berhasil menyingkirkan Rodin Muda sehingga dapat berkuasa di Demak. Berdasarkan pemberitaan sejarawan Portugis Joao de Barros dalam bukunya Da Asia, R.A. Kern menduga bahwa Pate Unus adalah raja Sunda.

Menurut Slamet Muljana, berita-berita Portugis menyebut Pate Unus menunjukkan bahwa dia memilih nama Islam, Yunus. Nama ini didapatkanya dari orang-orang Jawa yang menetap di Malaka dan yang merantau ke pelbagai kota pelabuhan. Tetapi, berita Tionghoa dari kelenteng di Semarang tidak menyebutkan nama Islamnya.

Pate Unus menggantikan ayahnya Raden Pateh sebagai Raja Demak, yang meninggal pada 1518. Dia tak berkuasa lama karena meninggal pada 1521 akibat sakit bengkak paru-paru. Karena tidak memiliki keturunan, dia digantikan adiknya, Raden Trenggana.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan majalah historia)

0 comments

Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan


BISSU Saidi beberapa waktu sebelum dia wafat, untuk menuliskan gendernya apakah sebagai laki-laki, perempuan, atau waria. “Tidak nak. Saya ini bissu. Bissu itu sendiri,” jawabnya kepada Historia.

Saidi kemudian mengangkat tangannya. Membuka telapaknya, lalu memegang jempolnya. Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah
makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.

Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Bissu memiliki bahasa sendiri, yang diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan).

Tak hanya itu, calalai dan calabai, pun diterima di tengah masyarakat. Tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” kata peneliti sosial dan filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi.

Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru, dalam hal ini munculnya agama (Kristen dan Islam) menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu, akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” kata Muhlis.

Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitu pun sebaliknya untuk calabai dan bissu, diberikan baju laki-laki.

Sementara itu, dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. “Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul,” katanya. “Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual.”

Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti, sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. “Di Sulsel, (pada) masa kerajaan kita tidak sulit menemukan raja perempuan,” katanya.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis, menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain.

Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain.”

Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan
calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang,
calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan).

James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.

Jadi, meski perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

Foto: cover buku "Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia" karya Sharyn Graham Davies.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Sejarah Sarinah: Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah


(Presiden Sukarno membangun Sarinah untuk memperkuat ekonomi sosialis, bukan untuk dan atas nama kapitalis)

17 AGUSTUS 1962. Ada keramaian di Jalan Thamrin Jakarta Pusat. Presiden Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan department store pertama di Indonesia: Sarinah –diambil dari nama pengasuh Sukarno ketika kecil.

Dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, Sukarno menegaskan bahwa Sarinah mutlak perlu untuk sosialistische economie
(ekonomi sosialis). “Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distrubusi legal, tidak mempunyai department store. Datanglah ke Hanoi, ada. Datanglah ke Peking, ada. Datanglah ke Nanking, ada. Datanglah ke Shanghai, ada. Datanglah ke Moskow, ada. Datanglah ke Budapest, ada. Datanglah ke Praha, ada,” tandas Sukarno.

Selain sebagai alat distribusi legal, sebagaimana dijelaskan Sukarno, fungsi dari department store untuk menurunkan dan menekan harga. Sebagai “prijs stabilisator,” katanya. Sehingga orang di luar
departemen store tersebut tidak berani menjual harga lebih tinggi. “Kalau di department store harganya cuma lima puluh rupiah, di luar departement store, orang tidak berani menjual seratus rupiah.”

Sukarno juga mengingatkan bahwa barang yang dijual department store tersebut harus barang berdikari. Barang bikinan Indonesia. “Yang boleh impor hanya 40%. Tidak boleh lebih. 60% mesti barang kita sendiri. Jual-lah di situ kerupuk udang bikinan sendiri. Jual-lah di situ potlot kita sendiri,” kata dia mewanti-wanti.

Sukarno menugaskan R. Soeharto, Menteri Muda Perindustrian Rakyat sekaligus dokter pribadinya mewujudkan pembangunan Sarinah. Soeharto menjadi presiden direktur PT Department Store Sarinah.

Menurut Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah,
pembangunan Sarinah tidak luput dari tentangan karena dianggap sebagai proyek mercusuar.

“Jangan terlalu menghiraukan kecaman itu,” kata Sukarno. “Sarinah harus merupakan pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Pembangunan department store itu perlu dikaitkan dengan pendidikan tenaga trampil dan ahli konstruksi gedung bertingkat tinggi. Mengenai bidang manajemennya sejalan dengan apa yang kita lakukan mengenai pembangunan Hotel Indonesia. Bangunannya dirancang dengan bantuan arsitek Abel Sorensen dari Denmark, dibangun oleh kontraktor Jepang, dan pembiayaannya dari pampasan perang Jepang.”

“Kalau Sarinah di Thamrin itu sukses, untuk Jakarta saya perintahkan buat tiga lagi. Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur. Another there, my dear friends, another three. Department Store Sarinah itu,” kata Sukarno.

Pada 15 Agustus 1966, Sukarno meresmikan Sarinah yang berlantai 14, sekaligus menandai lahirnya toko serba ada pertama di Asia Tenggara. “Ketika Singapura belum dibangun dan Kuala Lumpur masih rawa-rawa, Jakarta mulai berbenah membangun
department store pertama: Sarinah,” tulis Eka Budianta dalam biografi Cakrawala Roosseno. Roosseno adalah arsitek yang terlibat dalam pembangunan Sarinah.

Kini, Sarinah telah membuka cabang di Pejaten Village Jakarta Selatan, Basuki Rachmat Malang, dan Kraton di Yogyakarta. Unit bisnis BUMN ini juga merambah bisnis ekspor (furnitur, singkong), impor (beras, minuman beralkohol, cengkeh, saccharine
atau pemanis buatan), serta menjadi distributor terigu dan gula.

Pasca lengsernya Sukarno menyusul huru-hara 1965, strategi pembangunan ekonomi Indonesia bergeser dari sosialisme ke kapitalisme. Dan ini, bisa dilihat dari perkembangan Sarinah. Asa Sukarno tinggal kenangan. Jangan berharap berbelanja murah di Sarinah.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Demi Perjuangan, Pemuda Aceh Palsukan Surat Gubernur Maluku


KETIKA tentara Jepang datang di Aceh, orang-orang Ambon tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) melarikan diri dan berbaur dengan masyarakat. Setelah Jepang kalah, mereka keluar dari persembunyiannya. Mereka yang ditawan Jepang dibebaskan. Mereka berharap Belanda akan kembali dan menerima mereka lagi menjadi serdadu KNIL.

Menurut A. Hasjmy dalam Semangat Merdeka, jumlah mereka cukup banyak di seluruh Aceh. Kalau mereka merindukan kembalinya Belanda akan melemahkan Republik di Aceh. Melihat kenyataan demikian, anggota IPI (Ikatan Pemuda Indonesia) antara lain Azhar Azis, Ghazali Yunus, Teuku Alibasyah Talsya dan seorang pemuda PTT, membuat “kawat palsu” yang seakan-akan datang dari Gubernur Maluku, Dr. Latuharhary. Kawat palsu tersebut berbunyi:

Kepada
Seluruh serdadu-serdadu KNIL yang berada di Aceh
Masyarakat suku Ambon, Manado, Jawa, dan lain-lain bekas KNIL bersatulah dengan rakyat Aceh berhubung Indonesia telah merdeka.
Latuharhary, Gubernur Maluku

“Kawat palsu ini kami perbanyak lewat Suratkabar Dinding atau surat selebaran, dan disebarluaskan ke seluruh Aceh,” kata Hasjmy.

Di Banda Aceh, pimpinan IPI mengadakan pertemuan dengan orang-orang Ambon dan membacakan “kawat palsu” itu. Para pimpinan IPI di seluruh Aceh diinstruksikan agar melakukan hal yang sama seperti di Banda Aceh. Hasilnya baik sekali. Orang-orang Ambon bersama rakyat Aceh berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Mengenai ‘kawat palsu’ terjadi suatu keajaiban sejarah. Dalam bulan Oktober 1945, Gubernur Maluku, Latuharhary, mengeluarkan sebuah seruan ‘sungguhan’ yang ditujukan kepada suku Ambon dan inti ‘surat seruan’ itu sama dengan ‘kawat palsu’ isapan jempol Azhar Azis dan kawan-kawan,” kata Hasjmy.

Saudara-saudara dari Ambon!
Saat sekarang ini adalah saat yang terpenting dalam sejarah Bangsa Indonesia umumnya dan Kaum Ambon khususnya. Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suatu peristiwa yang akan menentukan nasib kita semuanya, yakni hidup sebagai manusia yang merdeka atau sebagai bangsa yang hina.
Oleh sebab itu, maka saya minta kepada saudara-saudara semuanya, berdirilah serentak di belakang Republik Indonesia.
Berjuanglah bersendel bahu bersama-sama Bangsa Indonesia yang lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia.

“Cerita yang saya ungkapkan ini, betul-betul suatu ‘main-main menjadi sungguhan’,” pungkas Hasjmy.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Enam Korban Keris Mpu Gandring

SIAPA yang tak kenal dengan kisah keris Mpu Gandring? Keris ini dikutuk pembuatnya, Mpu Gandring, akan membawa malapetaka. Keris pencabut maut ini dikisahkan dalam kitab Pararaton
atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya). Di luar mitos soal magis keris Mpu Gandring, kisah ini menggambarkan suksesi berdarah yang mengiringi perjalanan kerajaan Singasari, yang didirikan Ken Arok.

Berikut ini para korban kutukan keris Mpu Gandring?

Mpu Gandring:

Ken Arok terpesona oleh Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Menurut pendeta Lohgawe, siapa yang berhasil memperistri Ken Dedes akan menjadi raja besar. Ken Arok pun bertekad membunuh Tunggul Ametung.

Ayah angkatnya, Bango Samparan, menyarankan agar Ken Arok memesan keris kepada kawan karibnya, Mpu Gandring, pembuat keris yang ampuh di Lulumbang. Maka, datanglah Ken Arok menemui Mpu Gandring. Ken Arok meminta kerisnya selesai dalam lima bulan, sedangkan Mpu Gandring minta waktu setahun.

Lima bulan kemudian, Ken Arok kembali ke Lulumbang dan mendapati Mpu Gandring sedang menggurinda keris pesanannya. Karena belum selesai, Mpu Gandring menolak memberikan keris itu. Ken Arok pun merebut keris itu dan menikam Mpu Gandring.

Sebelum mati Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Arok dan tujuh turunannya akan mati oleh keris itu. Merasa bersalah, Ken Arok berjanji kalau cita-citanya menjadi raja terwujud, dia akan menunjukkan rasa terimakasihnya kepada keturunan Mpu Gandring.

Tunggul Ametung:

Di Tumapel, Ken Arok berkawan dengan Kebo Ijo, yang dikasihi Tunggul Ametung. Dengan cerdik, Ken Arok membuat Kebo Ijo tertarik dengan keris berukiran kayu cangkring yang dibawanya. Ken Arok meminjamkannya. Kebo Ijo suka memamerkan keris itu sehingga setiap orang Tumapel tahu Kebo Ijo memiliki keris itu.

Pada suatu malam, Ken Arok mengambil keris itu tanpa sepengetahuan Kebo Ijo. Ken Arok menikam Tunggul Ametung yang tertidur dan meninggalkan keris itu tertancap di dadanya.

Kebo ijo:

Warga Tumapel, yang pernah melihat Kebo Ijo memamerkan keris itu, sertamerta menuduhnya sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Mereka mengeroyok dan membunuh Kebo Ijo dengan keris itu.

Ken Arok bebas dari tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan Mpu Gandring. Kebo Randi yang masih kecil menangisi kematian ayahnya, Kebo Ijo. Merasa terharu, Ken Arok menjadikan Kebo Randi sebagai
pekatik (abdi).

Ken Arok akhirnya berhasil memperistri Ken Dedes. Tidak ada orang Tumapel yang berani menggangu gugat. Bahkan keluarga Tunggul Ametung pun diam, tidak berani berkata apa-apa. Ramalan pendeta Lohgawe terbukti. Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kediri, Dandang gendis alias Kertajaya. Dia mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222.

Ken Arok:

Waktu dinikahi Ken Arok, Ken Dedes sedang hamil tiga bulan, mengadung anak dari Tunggu Ametung. Ketika lahir, anak itu diberi nama Anusapati. Sedangkan Ken Arok dan Ken Dedes memperoleh tiga putra dan satu putri: Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Dari pernikahannya dengan Ken Umang, Ken Arok mempunyai tiga putra dan seorang putri: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi.

Ken Dedes merahasiakan kematian suaminya, Tunggul Ametung. Namun, ketika Anusapati sudah agak besar, dia menanyakan kepada ibunya, mengapa Sang Amurwabhumi (Ken Arok) memperlakukannya berbeda dibanding saudara-saudaranya yang lain. Dia juga mempertanyakan kenapa bukan dirinya yang lebih tua tapi Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kediri. Ken Dedes akhirnya menyingkap rahasia bahwa Anusapati hanyalah anak tiri dan ayahnya (Tunggul Ametung) mati dibunuh Ken Arok. Anusapati pun meminta keris Mpu Gandring yang dipegang Ken Dedes.

Anusapati menyuruh Ki Pengalasan dari desa Batil untuk menghabisi Ken Arok. Suruhannya itu berhasil membunuh Ken Arok yang sedang makan di waktu senja, pada 1247 –versi Negarakertagama menyebut tahun 1227.

Ki Pengalasan:

Setelah menyelesaikan misinya, Ki Pengalasan segera melapor. Anusapati memberinya hadiah. Namun karena takut Ki Pengalasan menceritakan siapa yang menyuruhnya membunuh Ken Arok, Anusapati kemudian menghabisinya.

Anusapati:

Sepeninggal Ken Arok, Anusapati dinobatkan sebagai raja Singasari. Namun dia selalu waspada. Bilik tempat tidurnya dikelilingi selokan, halamannya dijaga ketat orang-orang kepercayaannya.

Panji Tohjaya, anak Ken Arok dari Ken Umang, mengetahui bahwa Ki Pengalasan hanyalah suruhan Anusapati untuk membunuh ayahnya. Dia bersiasat dengan cara mengajak Anusapati meyabung ayam. Tohjaya berhasil meminjam keris Mpu Gandring dari Anusapati dan menukarnya dengan keris lain. Anusapati terlalu asyik menikmati sabung ayam. Tohjaya tak menyia-nyiakan kesempatan dan menancapkan keris Mpu Gandring ke dada Anusapati. Seketika Anusapati tewas pada 1249 –versi berbeda ditulis Negarakertagama yang menyebut Anusapati mati wajar.

Tohjaya kemudian naik tahta.

Tohjaya:

Kendati bukan mati karena keris Mpu Gandring, kematian Tohjaya patut dicatat sebagai rangkaian dari kisah ini.

Tohjaya berkuasa dengan diselimuti ketakutan. Kecurigaan terutama ditunjukkan kepada Rangga Wuni, anak Anusapati.

Rangga Wuni memendam dendam atas kematian ayahnya. Bersekutu dengan Mahisa Campaka, anak Mahisa Wunga Teleng yang tak terima tahta kerajaan Kediri diambil Tohjaya, Rangga Wuni melakukan pemberontakan. Mereka menyerang istana. Tohjaya melarikan diri. Namun karena luka-luka dalam pertempuran, dalam pelarian itu Tohjaya meninggal dunia.

Rangga Wuni menaiki tahta kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Mahisa Cempaka turut pula memerintah dengan gelar Narasimhamurti. Mereka mengadakan pemerintahan bersama dengan menyatukan kerajaan Singasari dan Kediri. Negarakertagama mengibaratkan Wisnu dan Indra.

Kutukan keris Mpu Gandring pun lenyap. Suksesi berdarah antara keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung pun berakhir.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Partai Demokrat Anti Kemerdekaan RI

SESUDAH proklamasi kemerdekaan timbul masalah kesiapan menerima negara baru. Sejarawan M.C. Ricklefts dalam Sejarah Indonesia Modern menulis banyak raja dan kaum ningrat, yang didukung Belanda dan mendapatkan kekayaan darinya, tak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka sama sekali tak tertarik revolusi, apalagi dengan pemimpin republik di Jakarta yang radikal. Kaum aristokrat mengganggap mereka tak lebih dari bandit tak beradab yang tak pantas memimpin republik ini karena tak berdarah biru.

Mas Slamet salah satunya. Dia adalah pegawai tinggi yang bekerja di kantor keuangan Jakarta. Kariernya cemerlang, sempat menjabat sebagai Adjunct Inspecteur van Financien atau ajun pemeriksa keuangan di era Belanda masih berkuasa. Hidup dan pekerjaan yang mapan itu luluh-lantak seketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Suasana revolusi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik yang berdampak langsung pada kehidupan para pegawai pemerintahan, termasuk Mas Slamet.

Mas Slamet tak mengikuti zaman. Ketika gelombang revolusi menghempaskan semua yang berbau Belanda, dia malah memilih melawan arus kemerdekaan yang diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Seakan urat takutnya putus, dia menunjukkan ketidaksetujuan itu di hadapan rekan sekantornya yang sedang dirasuki semangat kemerdekaan.

“Kalau Indonesia tetap merdeka, saya akan berangkat ke negeri Belanda. Saya maju karena Belanda,” kata Mas Slamet seperti dikutip dari Pewarta Deli, 21 Januari 1946.

Mendengar dia berkata demikian, rekan kantornya yang sebagian besar pemuda mengamuk. Mas Slamet diculik dan dikurung selama dua bulan. Selama dalam kurungan itulah, menurut pengakuannya, dia dianiaya oleh para pemuda republikein. Setelah dibebaskan, dia mengirim surat kepada Ratu Wilhelmina, mengadukan perlakuan kasar para pemuda.

“Haruslah diikhtiarkan jalan untuk mencegah kejahatan-kejahatan dan kekerasan yang tidak ada batasnya itu,” tulis Mas Slamet dalam suratnya.

Kesumat telah membara dalam dadanya. Dia berupaya keras mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan Republik Indonesianya sendiri. Untuk melempangkan niatnya, dia dirikan sebuah partai, Partai Demokrat namanya. Partai Demokrat didirikan oleh delapan orang yang dipimpin Mas Slamet. Tak tanggung-tanggung dia meminta bantuan langsung kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.

Kepada Ratu dia mengklaim anggota Partai Demokrat terdiri dari kaum terpelajar Indonesia. Partai baru itu memohon kemerdekaan penuh Indonesia atas Belanda tapi oposisi pada Republik Indonesia yang diproklamasikan Sukarno. Dalam suratnya, Mas Slamet cum suis mengusulkan supaya soal-soal Indonesia diserahkan saja kepada suatu komisi Belanda yang berpandangan luas.

Saat itu beredar pula kabar bahwa Mas Slamet akan menghadap Panglima Tentara Sekutu Jenderal Sir Philips Christison untuk minta perlindungan. Perlindungan itu dia butuhkan agar rapat-rapat umum yang diselenggarakannya aman dari segala ancaman, bahkan penganiayaan seperti yang pernah dia alami. Ketua Partai Demokrat itu juga mengajukan permohonan bicara di depan corong radio Serikat demi keperluan partainya.

Koran Pewarta Deli edisi 21 Januari 1946 menurunkan berita itu dengan pesan supaya mewaspadai gerakan Mas Slamet. “Mr Slamet satoe lagi perkakas Belanda oentoek memetjah belah kita,” demikian anak judul koran terbitan Sarikat Tapanoeli, Medan, itu. Tak jelas bagaimana kelanjutan nasib Mas Slamet yang apes itu. Yang pasti, republik impiannya tak berdiri sampai hari ini.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Para Prajurit Janda



KESULTANAN Aceh belum lama berdiri ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Kesultanan ini secara bertahap menjadi kuat di semenanjung Sumatra pada paruh pertama abad ke-16. Kala itu, lada Sumatra laku keras di pasaran Tiongkok dan Eropa. Hubungan dengan pedagang dari pesisir laut merah pun segera terjalin. Ini membawa keuntungan bagi Kesultanan Aceh.

Portugis melihat itu sebagai ancaman, sementara sultan-sultan Aceh menilai Portugis sebagai lawan. Perang pun tak terelakkan. Aceh menyerang Malaka pada 1537, 1547, 1567, 1574, dan 1629. Dalam peperangan itu, Aceh menyertakan armada perempuan. Orang Portugis agak canggung dibuatnya. Tapi, tak ada pilihan: mereka harus berperang melawan para perempuan. Inilah tilas mula keperkasaan perempuan Aceh.

Kesertaan perempuan Aceh ditemukan dalam perang tahun 1567 walau belum berhimpun dalam kesatuan khusus. Jennifer Dudley, mahasiswi doktoral Universitas Murdoch, menyebut perempuan-perempuan itu bergabung ke dalam pasukan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. “Mereka menemani suaminya berperang, sementara sisanya adalah janda atau tunangan dari prajurit yang gugur dalam perang sebelumnya,” tulis Dudley dalam “Of Warrior Women, Emancipiest Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers.”

Bersandar kepada catatan yang ditemukannya, Dudley tak menampik peran perempuan dalam perang. Sebab, selama ini, kiprah prajurit perempuan dalam sejarah Indonesia lebih banyak bersandar pada mitos, bukan catatan sejarah. Dudley mengakui hal itu lantaran kurangnya sumber tulisan tepercaya tentang riwayat perempuan-perempuan Aceh. Dalam makalahnya, Dudley menggambarkan mereka “bertarung dengan berjalan kaki dan menunggang kuda atau gajah.” Namun, Dudley tak menerangkan dari mana keahlian itu diperoleh.

Keahlian perempuan Aceh berperang tersemai berkat pelatihan di akademi militer Kesultanan Aceh, Baital Makdis. Pendirian akademi ini tak terlepas dari bantuan Kesultanan Turki Usmani. Dua kesultanan ini merenda hubungan baik sejak paruh pertama abad ke-16, sehingga kemungkinan akademi itu didirikan pada kurun yang sama.

Walau tak menyebut kurikulum dan kapan pendiriannya, Ismail Hakki Goksoy, dalam “Ottoman-Aceh Relations According to the Turkish Sources”, makalah pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, mencatat Aceh merekrut ahli militer dan pembuat senapan sejak 1530-an. Dia juga menyebut akademi ini meluluskan seorang perempuan Aceh, Kumalahayati.

Kumalahayati menjadi laksamana perempuan pertama saat Aceh berada di bawah kuasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1589-1604), yang menyerang Portugis di Teluk Aru, dekat Langkat. Tugas Kumalahayati adalah menghadang serangan Portugis setelah peperangan di Teluk Aru. Dia lalu membentuk kesatuan tentara perempuan bernama
Inong Balee. Kesatuan ini terdiri dari sekira seribu janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang itu.

Kumalahayati salah satu janda tersebut. Meski sedih, dia tak terus meratap; sebab perang belum berakhir. Armada Portugis masih berhimpun di Malaka untuk membalas serangan di Teluk Aru. Dia tak mau kematian suaminya sia-sia. Demi cintanya pada suami, Kumalahayati berlakon sebagai panglima dan jurulatih janda-janda itu.

Teluk Krueng Raya terpilih sebagai markas mereka. Di sana, mereka dilatih mengangkat busur, memegang senapan, menunggang kuda, mengendalikan gajah, dan, tak kalah penting, mengobarkan semangat cinta pada suami sebagai bekal berperang. Selain itu, markas mereka dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan meriam.

Peran perempuan dalam kemiliteran Aceh tak terbatas pada pasukan perang. Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604-1607) dikelilingi oleh pasukan pengawal perempuan yang disebut Sukey Inong Kaway. Berbeda dari Inong Balee, anggota pasukan ini terdiri dari perempuan bersuami dan perawan. Mereka dipercayakan menjaga istana putri. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, melihat gejala ini sebagai ketidakpercayaan sultan terhadap penjaga lelaki. Reid menyebut, “Pola ini tampaknya bersumber dari ketidakpercayaan yang dirasakan oleh kalangan raja terhadap setiap lelaki yang mendekati tempat tinggal putri-putri istana.”

Kepercayaan sultan-sultan Aceh pada prajurit perempuannya semakin terbukti dengan pengembangan Inong Balee. Iskandar Muda (1607-1636), sultan Aceh termashyur, mengambil sebagian anggota Inong Balee untuk masuk ke
Kemala Cahaya, pengawal kehormatan istana. Sebagian besar adalah perempuan-perempuan berparas cantik. Mereka bertugas menerima tamu-tamu agung sultan. Menurut Ann Kumar, dalam
Prajurit Perempuan Jawa, mengutip catatan Peter Mundy, pengelana Inggris yang melawat ke Aceh pada 1637, “para pengawal perempuan berjalan sambil mengusung panah dan busur.”

Menurut A. Hasjmy dalam 59 Tahun Aceh Merdeka, seusai masa Iskandar Muda, prajurit perempuan Aceh terus dibina oleh Sultana Safiatuddin (1641-1675).
Inong Balee, misalnya, tak lagi hanya berisi janda tapi juga perempuan bersuami atau masih gadis. Meski Kesultanan Aceh mengalami kemunduran jelang abad ke-18, peran prajurit perempuan Aceh tak lantas mengendur. Lawan Aceh, Portugis, yang juga mengalami kemunduran, digantikan oleh Belanda. Belanda harus mengalami perang serupa Portugis: menghadapi prajurit perempuan.

Hingga paruh pertama abad ke-20, kiprah perempuan Aceh dalam militer masih tersua. Beberapa nama kesatuan prajurit perempuan bisa disebut, semisal Sukey Fakinah pada akhir abad ke-19 dan Resimen Pocut Baren pada 1945. Dari epos panjang prajurit perempuan Aceh itu, keperkasaan tokoh-tokoh masyhur seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dapat terlacak.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
0 comments

Denpasar-Sanur titik awal Perkembangan Pariwisata Jaman Dulu di Bali

Pembangunan Pariwisata di Bali, mendapatkan tonggak kebijakan politiknya ketika Bung Karno menyatakan bahwa "Bali kelak dikemudian hari akan menjadi mercusuar pariwisata dunia" dan Bung Karno kemudian membangun sebuah hotel besar di Sanur, Bali yang menghadap ke timur. Karena Bung Karno senang dengan Sunrise, sesuai dengan kalahirannya di fajar waktu dan dia kerap dijuluki "Sukarno, Putera Sang Fajar". Pada saat proses pembangunan ada kebakaran besar, dan ada sebuah kamar yang tidak terbakar sama sekali yaitu kamar no. 327, dianggap oleh masyarakat Bali saat itu, disanalah kamar Bung Karno.

Hotel Grand Inna sendiri diresmikan 1966, dimana Bung Karno sudah jatuh dari kekuasaannya, dan sama sekali Bung Karno belum pernah menginap di hotel yang dijadikan ikon kebangkitan pariwisata Indonesia di mata dunia Internasional.

Di Sanur sendiri perkembangan pariwisata berjalan semarak, jauh sebelumnya sudah ada hotel modern di Sanur, bernama Hotel La Taverna dan Tandjung Sari, yang amat dikenal turis bila mengunjungi Bali. Sekitar 20 menit jarak antara Bandara Ngurah Rai ke Sanur.

Di masa Pemerintahan Suharto, juga tak mau kalah dalam membangun Pariwisata, Pak Harto meminta Emil Salim merancang hotel yang tepat menghadap matahari terbit, lalu dibangunlah Hotel Sanur Beach pada tahun 1974.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
0 comments

Kisah Ayam Jago dengan Gerhana Matahari Total di 1983

Selain tahun ini, Gerhana matahari total juga pernah di Indonesia pada 1983. Saat itu, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih cenderung takut ketika melihat gerhana.

Akibat imbauan pemerintah kala itu yang melarang masyarakat melihat gerhana secara langsung, banyak warga yang enggan untuk melihat gerhana matahari.

Dari peristiwa tersebut, ternyata terselip sebuah peristiwa yang cukup menggelitik. Kisah itu diutarakan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi ketika dihubungi Okezone, Selasa (8/3/2016).

"Ketika itu, saya melakukan eksperimen dengan melepas ayam keluar kandang, namun tetap memakai kurungan," kata Heru.

Heru mengungkapkan, ia penasaran terkait dampak gerhana matahari terhadap penglihatan hewan. Seperti diketahui, sinar matahari ketika gerhana dapat merusak mata terbakar, hingga menyebabkan kebutaan.

Tidak disangka, ayam yang ia lepas keluar ini mengalami kebutaan permanen. Hal ini menunjukkan sinar matahari ketika gerhana ternyata memiliki dampak yang sama terhadap hewan. "Percaya atau tidak, ayam ini matanya bengkak dan tidak bisa melihat. Akhirnya mati tercebur sumur, padahal ini ayam jago," lanjutnya.

Untuk gerhana kali ini, Heru berharap pemerintah lebih banyak melakukan sosialisasi terkait bahaya melihat gerhana. "Bahaya melihat gerhana harus terus disosialisasikan," tutupnya.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
0 comments

Dendam Si Buto, Mitos Gerhana di Tanah Jawa

Gerhana matahari total akan terjadi pada 9 Maret 2016 di beberapa daerah di Indonesia. Fenonema alam langka ini memunculkan beragam mitos di berbagai daerah, salah satunya di tanah Jawa.

Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rinto Isworo, sebagai Wakil Penghageng Kalih (dua) Widya Budaya (bertugas dalam bidang kebudayaan) menceritakan kisah gerhana dalam adat Jawa lewat cerita buto (raksasa) yang memakan matahari dan bulan. Menurut Romo Rinto, fenomena alam itu sering dikait-kaitkan dengan sesuatu sesuai dengan ciri orang Jawa.

Nenek moyang orang Jawa, tutur dia, sering bercerita bahwa gerhana terjadi karena matahari atau bulan sedang dimakan raksasa alias buto. Kisahnya bermula saat para dewa akan membagi air penghidupan atau tirta amerta. Namun karena tirta amerta terbatas, maka pimpinan dewa membagi rata secara antre.

"Karena cuma terbatas maka memberinya waton rata (asal rata). Oleh pimpinan dewa disiapkan untuk ngantri para dewa. lalu meminumkannya menggunakan daun beringin, disendok terus dimasukkan ke mulut dewa. khasiatnya, para dewa tidak akan mati," tutur Romo Rinto.

Pembagian tirta amerta ini pun diketahui buto. Karena ingin meminum tirta amerta itu, buto pun mengubah wujud aslinya dengan menyamar seperti para dewa agar tak ketahuan. Namun setelah antri dan mendapat giliran minum, dewa matahari Bethoro Suryo memergokinya.

"Nek melu antri ngono kui aku mesti ketok to (kalo ikut antri gitu kan pasti ketahuan). Karena bukan rombongan dia lalu berubah rupa seperti dewa. Bethoro Suryo (dewa matahari) ngerti kalau ini bukan rombongan dewa. Ning kebacut (tapi terlanjur) wis tekan ngene iki (menunjuk mulut). Baru sampai segitu langsung dipanah lehernya oleh Bethoro Suryo," tuturnya.

Usai dipanah Bethoro Suryo, tubuh buto terbagi 2. Badannya jatuh ke bumi lalu menjadi lesung dan kepalanya melayang di angkasa. Namun kepala buto masih terus hidup karena sudah meminum tirta amerta.

Buto pun berjanji akan membalas dendam dengan memakan matahari dan bulan. Saat hari pembalasan tiba, buto memakan matahari atau bulan dengan amarahnya. Saat matahari atau bulan ditelan buto itulah fenomena gerhana terjadi, lalu warga membunyikan kentongan dan lesung yang merupakan badan buto agar melepaskan matahari atau bulan yang ditelannya.

"Pas gelap (karena gerhana) mereka memukul lesung dan teriak, 'hoooi buto itu ojo diuntal, lepehen (raksasa, itu jangan ditelan, muntahkan)'. Karena leher buto cuma segitu, kan tubuhnya jatuh di bumi, ya akhirnya lepas lagi matahari atau bulannya. Itu mitos gerhana matahari dan bulan karena dulu masih bodo (bodoh) jadi tidak ada yang bantah," kata Romo Rinto.


(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
0 comments

Kisah Pak Kamid

Indonesia baru saja merdeka, dan Djakarta dengan segera diduduki KNIL dengan membonceng Pasukan Sekutu, Bung Karno dan Bung Hatta pindah ke Yogyakarta.

Cara berpikir seorang petani lugu, Pak Kamid adalah petani di Sumedang, ia jalan kaki ingin bertemu Presidennya, ia bersyukur atas tanah merdeka. Saat itu tahun 1947.

Ratusan kilometer ia lalui dan bertemu dengan Bung Karno, Presiden yang amat dicintai rakyat, Presiden yang pasang badan untuk kemerdekaan Republik.
.
Pak Kamid menangis, Bung Karno menangis, dan mereka menangis untuk bangsa yang baru saja lahir...

Indonesia kita tidak serta merta dibangun oleh kehendak dan keberuntungan sejarah, tapi dibina oleh mereka yang mencintai tanah airnya dengan tulus...

Masihkah kalian mencintai Indonesiamu, Negaramu yang ada sekarang ini? Seperti cinta Bung Karno pada Indonesia, seperti cinta Pak Kamid pada Indonesia...

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
0 comments

Margonda, Pejuang Muda di Balik Nama Jalan Utama di Depok

Margonda, lebih dikenal luas sebagai nama jalan utama di Depok, Jawa Barat. Tak banyak yang tahu, sepak terjangnya saat melawan penjajah. Bagaimana kisahnya?

Margonda lahir tahun 1918 di Baros, Cimahi, Bandung dengan nama asli Margana. Ayahnya seorang pedagang tikar rumpin. Margonda semasa hidupnya tinggal di Jalan Ardio, Bogor.
"Margonda adalah sisi lain dari para pejuang. Dia bukan lahir dari militer dan mempunyai pangkat. Peran awalnya lebih ke arah administratif, beliau menjadi salah satu orang yang berpengaruh di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dan tidak pernah belajar strategi perang atau angkat senjata," ucap sejarawan dari Museum Perjoangan Bogor, Mahrup.

Memasuki tahun 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Baru dua tahun menimba ilmu di sana, Belanda kalah pada Jepang dan kekuasaan beralih ke Jepang. Margonda bekerja di bawah kuasa Jepang di departemen penerbangan itu.
Ketika Kota Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh tentara sekutu tanggal 6 Agustus 1945, Jepang melemah dan banyak pasukan yang ditarik pulang. Peristiwa itu menjadi ujung tombak kemerdekaan RI yang diproklamirkan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945.

Meski sudah merdeka, namun para penjajah belum semuannya angkat kaki dari Indonesia. Perjuangan mengusir penjajah masih terjadi di berbagai daerah. Salah satunya di Bogor. Margonda yang kala itu bekerja di bawah kekuasan Jepang, mengorganisir para pemuda untuk mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang merupakan cikal bakal TNI.
"Margonda ikut terjun melawan penjajah karena rasa kebencian yang luar biasa dengan kolonialisme juga termasuk NICA. Semangat ingin merdeka seutuhnya, juga kedekatannya dengan masyarakat membuat ia bergabung dengan laskar rakyat," ucap Ma'ruf.

Pada tanggal 16 November 1945 pertempuran antara para penjajah dengan para pejuang pecah di Depok dan berlangsung hingga sehari-semalam. Banyak pejuang yang gugur, salah satunya Margonda.

Margonda tertembak timah panas tentara Inggirs di pinggir Kali Bata, Pancoran Mas Depok. Kala itu Margonda tengah memegang granat yang siap dilemparkan ke arah musuh. Margonda tumbang bersimbah darah dan gugur di medan pertempuran di usia yang masih muda yakni 27 tahun.

Perjuangan Margonda ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan utama di Depok, yakni Jalan Margonda. Jalan yang paling terkenal di Depok dan berada di pusat kota.
"Margonda menjadi besar karena salah satunya ia gugur di Kalibata, Depok, Pancoran Mas. Namanya pun diabadikan menjadi nama jalan besar di Depok. Selain itu kedekatannya dengan masyarakat sekitar pada saat itu, membuat namanya semakin harum," tutup Mahrup.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
0 comments