Gerhana matahari total akan terjadi pada 9 Maret 2016 di beberapa daerah di Indonesia. Fenonema alam langka ini memunculkan beragam mitos di berbagai daerah, salah satunya di tanah Jawa.
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rinto Isworo, sebagai Wakil Penghageng Kalih (dua) Widya Budaya (bertugas dalam bidang kebudayaan) menceritakan kisah gerhana dalam adat Jawa lewat cerita buto (raksasa) yang memakan matahari dan bulan. Menurut Romo Rinto, fenomena alam itu sering dikait-kaitkan dengan sesuatu sesuai dengan ciri orang Jawa.
Nenek moyang orang Jawa, tutur dia, sering bercerita bahwa gerhana terjadi karena matahari atau bulan sedang dimakan raksasa alias buto. Kisahnya bermula saat para dewa akan membagi air penghidupan atau tirta amerta. Namun karena tirta amerta terbatas, maka pimpinan dewa membagi rata secara antre.
"Karena cuma terbatas maka memberinya waton rata (asal rata). Oleh pimpinan dewa disiapkan untuk ngantri para dewa. lalu meminumkannya menggunakan daun beringin, disendok terus dimasukkan ke mulut dewa. khasiatnya, para dewa tidak akan mati," tutur Romo Rinto.
Pembagian tirta amerta ini pun diketahui buto. Karena ingin meminum tirta amerta itu, buto pun mengubah wujud aslinya dengan menyamar seperti para dewa agar tak ketahuan. Namun setelah antri dan mendapat giliran minum, dewa matahari Bethoro Suryo memergokinya.
"Nek melu antri ngono kui aku mesti ketok to (kalo ikut antri gitu kan pasti ketahuan). Karena bukan rombongan dia lalu berubah rupa seperti dewa. Bethoro Suryo (dewa matahari) ngerti kalau ini bukan rombongan dewa. Ning kebacut (tapi terlanjur) wis tekan ngene iki (menunjuk mulut). Baru sampai segitu langsung dipanah lehernya oleh Bethoro Suryo," tuturnya.
Usai dipanah Bethoro Suryo, tubuh buto terbagi 2. Badannya jatuh ke bumi lalu menjadi lesung dan kepalanya melayang di angkasa. Namun kepala buto masih terus hidup karena sudah meminum tirta amerta.
Buto pun berjanji akan membalas dendam dengan memakan matahari dan bulan. Saat hari pembalasan tiba, buto memakan matahari atau bulan dengan amarahnya. Saat matahari atau bulan ditelan buto itulah fenomena gerhana terjadi, lalu warga membunyikan kentongan dan lesung yang merupakan badan buto agar melepaskan matahari atau bulan yang ditelannya.
"Pas gelap (karena gerhana) mereka memukul lesung dan teriak, 'hoooi buto itu ojo diuntal, lepehen (raksasa, itu jangan ditelan, muntahkan)'. Karena leher buto cuma segitu, kan tubuhnya jatuh di bumi, ya akhirnya lepas lagi matahari atau bulannya. Itu mitos gerhana matahari dan bulan karena dulu masih bodo (bodoh) jadi tidak ada yang bantah," kata Romo Rinto.
(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan Sumber lainya)
Post a Comment