Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan


BISSU Saidi beberapa waktu sebelum dia wafat, untuk menuliskan gendernya apakah sebagai laki-laki, perempuan, atau waria. “Tidak nak. Saya ini bissu. Bissu itu sendiri,” jawabnya kepada Historia.

Saidi kemudian mengangkat tangannya. Membuka telapaknya, lalu memegang jempolnya. Jempol itu, kata dia, adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah
makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.

Pada masa lalu, bissu dianggap sebagai pranata spiritual paling vital sebagai penyambung dan penghubung antara manusia dan dewa. Bissu memiliki bahasa sendiri, yang diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di beberapa kerajaan, bissu dilindungi oleh raja dan diberikan amanah dalam menjaga arajang (pusaka kerajaan).

Tak hanya itu, calalai dan calabai, pun diterima di tengah masyarakat. Tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” kata peneliti sosial dan filolog Universitas Hasanuddin, Muhlis Hadrawi.

Namun, perubahaan perlahan-lahan terjadi. Ketika budaya baru, dalam hal ini munculnya agama (Kristen dan Islam) menempatkan pembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu, akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” kata Muhlis.

Bahkan pada periode tertentu, saat pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan dilaksanakan Operasi Taubat. Orang-orang yang mengakui dirinya di luar dari gender perempuan dan laki-laki akan dikejar. Jika calalai akan diberikan kembali baju perempuan. Begitu pun sebaliknya untuk calabai dan bissu, diberikan baju laki-laki.

Sementara itu, dosen Fakutas Imu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rachman mengatakan, kehidupan sosial di masyarakat Bugis dan Makassar (umumnya Sulawesi Selatan) sejak masa lalu mengenal lima identifikasi gender tersebut. “Secara individu per individu sikap saling menghargai itu muncul,” katanya. “Bahkan, karena tingginya toleransi di kalangan kelompok, bissu misalnya mendapatkan tempat penting dalam sebuah ritual.”

Tapi bagi Alwi, budaya Bugis dan Makassar itu sangat maskulin. Karakter akan keberanian, keteguhan dan keperkasaan selalu menampilkan sosok laki-laki. Namun bukan berarti, sisi maskulinitas ini mengabaikan identitas gender lainnya. “Di Sulsel, (pada) masa kerajaan kita tidak sulit menemukan raja perempuan,” katanya.

Christian Pelras dalam Manusia Bugis, menuliskan relasi gender masyarakat Bugis begitu cair. Hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan tidak saling membatasi gerak. Orang Bugis tidak menganggap laki-laki atau perempuan lebih dominan satu sama lain.

Pelras, mengutip Sir Stamford Raffles pada 1817 bahwa di Sulawesi Selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang bisa diharapkan dari tingkat kemajan yang dicapai peradaban Bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang keras, kemelaratan, atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia lain.”

Namun kemudian bagi Pelras, calabai yang dituliskannya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan
calalai sebagai “jenis kelamin keempat” masing-masing memiliki peran di masyarakat. Tak jarang,
calabai akan berperan dalam prosesi ritual tradisional sebagai indo’ botting (ibu pengantin yang berperan dalam menentukan langgeng tidaknya pasangan).

James Brooke dalam jurnal perjalanannya ke Wajo pada 1840 mengatakan, tentang kebiasaan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.

Jadi, meski perbedaan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun fleksibilitasnya tergambar dalam ungkapan mau’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” (meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki).

Foto: cover buku "Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia" karya Sharyn Graham Davies.

(Tulisan ini diberdayakan oleh Facebook Kumpulan Sejarah Indonesia dan historia.id)
Share this article :

Post a Comment