(Tulisan ini diberdayakan oleh Kumpulan Sejarah Indonesia facebook dan Sumber lainya)
Bagi umat Islam keberadaan Mesjid tanpa ulama, seperti ikan kehilangan air. Di sebuah wilayah jika memiliki sebuah masjid besar, dipastikan juga memiliki beberapa tokoh ulama besar di sana. Nah, di Bengkulu di kenal seorang ulama besar bernama Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo, Yang telah mengajarkan Tradisi Tabot. Yakni sebuah Ritual perayaan mengenang kepahlawanan cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husein, yang gugur dalam perang Karbala, pada 10 Muharram 61 H (681 M).
Istilah Tabot berasal dari Bahasa Arab yaitu Tabut, secara Harafiah berarti ''kotak kayu'' atau ''peti''. Perayaan Tabot dilaksanakan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram. Dalam terminologi Al-Qur'an, kata ''Tabot'' diketahui sebagai sebuah Peti yang berisi kitab Taurat.
Bagi kaum bani Israil pada masa itu dipercaya bahwa kebaikan akan mereka peroleh bila Tabot berada di tangan Pemimpin. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan malapetaka bila Tabot Hilang.
Tidak ada catatan tertulis perayaan Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Dugaan kuat menyatakan tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja bangunan yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Pekerja bangunan benteng didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Dimana penduduk wilayah selatan India mayoritas pemeluk Islam Syi'ah.
Kaum pekerja bangunan ini merasa nyaman dengan tata hidup mesyarakat Bengkulu. Mereka memutuskan untuk menetap, menikah dengan perempuan Bengkulu, dan membangun pemukiman baru yang disebut Berkas. Daerah Berkas kini adalah kelurahan Tengah Padang. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Orang Sipai. Selama tinggal di Bengkulu, kaum pekerja ini dipimpin oleh seorang guru Spiritual, yakni Syekh Burhanuddin,.
Syekh Burhanudiin dikenal sebagai ulama Kharismatik. Beliau mengajarkan Prinsip ajaran Syi'ah kepada masyakarat Bengkulu. Beliau lalu menikahi perempuan Bengkulu. Anak, cucu, dan keturunan Syekh Burhanuddin disebut keluarga Tabot. Syekh Burhanuddin memperkenalkan perayaan Tabot kepada masyarakat Bengkulu sekitar Tahun 1685.
Perayaan Tabot kemudian mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Lalu dilembagakan menjadi Upacara Tabot. Tradisi ini meluas ke seluruh Bengkulu hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Singkil,Meulaboh,
Banda Aceh, dan Pidie. Tradisi Tabot masuk wilayah Sumbar sekitar tahun 1831 dimulai dari wilayah pesisir barat.
Tradisi Tabot pada awalnya digunakan penganut Syi'ah untuk mengenang gugurnya Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun sejak, orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi'ah, perayaan Tabot dilakukan sebagai kewajiban keluarga memenuhi wasiat leluhur mereka. Dalam perkembangannya, selain melaksanakan wasiat leluhur, perayaan Tabot dilaksanakan sebagai wujud Partisipasi orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat. Sehingga perayaan Tabot dilembagakan menjadi Upacara Tabot.
Seiring lajunya Zaman, tradisi Tabot menghilang di berbagai tempat. Hanya Bengkulu dan Pariaman yang masih memiliki akar tradisi Tabot yang kuat. Di Bengkulu nama Upacara Tabot tetap digunakan. Sedangkan di Pariaman, upacara Tabot dikenal dengan sebutan Tabuik.
Syekh Burhanuddin kemudian wafat dan dimakamkan di pemakaman umum yang dikenal dengan nama makam Karbala. Peninggalan beliau adalah tradisi Tabot yang memiliki makna Humanis yang mendalam. Tradisi Tabot mengandung arti kepada manusia akan perilaku penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan yang berakhir kepada perpecahan umat. Tradisi Tabot juga merupakan simbolisasi sebuah keprihatinan sosial terhadap konflik kekuasaan yang menghancurkan tatanan masyarakat madani.
Istilah Tabot berasal dari Bahasa Arab yaitu Tabut, secara Harafiah berarti ''kotak kayu'' atau ''peti''. Perayaan Tabot dilaksanakan setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram. Dalam terminologi Al-Qur'an, kata ''Tabot'' diketahui sebagai sebuah Peti yang berisi kitab Taurat.
Bagi kaum bani Israil pada masa itu dipercaya bahwa kebaikan akan mereka peroleh bila Tabot berada di tangan Pemimpin. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan malapetaka bila Tabot Hilang.
Tidak ada catatan tertulis perayaan Tabot mulai dikenal di Bengkulu. Dugaan kuat menyatakan tradisi Tabot dibawa oleh para pekerja bangunan yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu. Pekerja bangunan benteng didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali di bagian selatan India. Dimana penduduk wilayah selatan India mayoritas pemeluk Islam Syi'ah.
Kaum pekerja bangunan ini merasa nyaman dengan tata hidup mesyarakat Bengkulu. Mereka memutuskan untuk menetap, menikah dengan perempuan Bengkulu, dan membangun pemukiman baru yang disebut Berkas. Daerah Berkas kini adalah kelurahan Tengah Padang. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Orang Sipai. Selama tinggal di Bengkulu, kaum pekerja ini dipimpin oleh seorang guru Spiritual, yakni Syekh Burhanuddin,.
Syekh Burhanudiin dikenal sebagai ulama Kharismatik. Beliau mengajarkan Prinsip ajaran Syi'ah kepada masyakarat Bengkulu. Beliau lalu menikahi perempuan Bengkulu. Anak, cucu, dan keturunan Syekh Burhanuddin disebut keluarga Tabot. Syekh Burhanuddin memperkenalkan perayaan Tabot kepada masyarakat Bengkulu sekitar Tahun 1685.
Perayaan Tabot kemudian mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat. Lalu dilembagakan menjadi Upacara Tabot. Tradisi ini meluas ke seluruh Bengkulu hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Singkil,Meulaboh,
Banda Aceh, dan Pidie. Tradisi Tabot masuk wilayah Sumbar sekitar tahun 1831 dimulai dari wilayah pesisir barat.
Tradisi Tabot pada awalnya digunakan penganut Syi'ah untuk mengenang gugurnya Husein Bin Ali Bin Abi Thalib. Namun sejak, orang Sipai lepas dari pengaruh ajaran Syi'ah, perayaan Tabot dilakukan sebagai kewajiban keluarga memenuhi wasiat leluhur mereka. Dalam perkembangannya, selain melaksanakan wasiat leluhur, perayaan Tabot dilaksanakan sebagai wujud Partisipasi orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat. Sehingga perayaan Tabot dilembagakan menjadi Upacara Tabot.
Seiring lajunya Zaman, tradisi Tabot menghilang di berbagai tempat. Hanya Bengkulu dan Pariaman yang masih memiliki akar tradisi Tabot yang kuat. Di Bengkulu nama Upacara Tabot tetap digunakan. Sedangkan di Pariaman, upacara Tabot dikenal dengan sebutan Tabuik.
Syekh Burhanuddin kemudian wafat dan dimakamkan di pemakaman umum yang dikenal dengan nama makam Karbala. Peninggalan beliau adalah tradisi Tabot yang memiliki makna Humanis yang mendalam. Tradisi Tabot mengandung arti kepada manusia akan perilaku penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan yang berakhir kepada perpecahan umat. Tradisi Tabot juga merupakan simbolisasi sebuah keprihatinan sosial terhadap konflik kekuasaan yang menghancurkan tatanan masyarakat madani.
Post a Comment