(Tulisan ini diberdayakan oleh Kaskus dan sumber lain)
Pusat Kerajaan Mataram kuno
Bhumi
Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah
inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri
(Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa
prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah
Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara
keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya,
pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan,
bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah
menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah
ditemukan antara lain,
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut
perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan
Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang
sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang
disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir,
yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di
daerah Madiun.
RAJA DAN RAMA: NEGARA KLASIK DI JAWA MASA AWAL
Ketidakmerataan
penyebaran sumber-sumber arkeologis berkenaan dengan pulau jawa baik
dari segi waktu maupun tempat sangatlah disayangkan. Dikarenakan bagi
mayoritas masyarakat pra-modern, arkeologi ialah pemberi informasi utama
tentang hubungan antara masyarakat non-elite dengan lingkungan dan
hasil kebudayaan mereka. Meski terkadang pola penyebaran ini memiliki
arti khusus namun oleh karena hal ini sampai sekarang riset mengenai
pola pemukiman, mata pencaharian dan perdagangan hanya diusahakan dalam
beberapa daerah tertentu saja. Dan hal ini juga mendapat dukungan dari
informasi yang diberikan inskripsi dan sejarah dari luar.
Kurang
lebih ada dua ratus lima puluh inskripsi di Jawa berupa lempengan batu
dan tembaga pada ma sa pra-islam.Secara garis besar dikelompokkan
menjadi tiga kelompok. Yang pertama inskripsi berbahasa sansekerta,
berasal dari abad ke 5 s/d 9. Yang kedua ditulis dalam bahasa melayu
kuno terdiri dari 6 inskripsi dari abad ke 7 s/d 9. Baru sesudah
inskripsi jawa kuno pertama muncul di awal abad ke-9 , jumlah yang
berarti telah dicatat sebagai apa yang biasa kita kenal sebagai data
sosial ekonomik. Dari inskripsi-inskripsi yang ada hingga abad ke-13
yang terdkumentasikan dengan cukup baik, tampak pada masa ini tempak
telah berkembang banyak organisasi kenegaraan.
Pada
akhir milenium pertama masehi, Jawa dengan didukung oleh masyarakat
yang makmur, benpenduduk padat dan agraris yang relatif stabil berpusat
pada 2 dataran rendah yang subur. Dari Jawa Tengah antara daerah
Yogyakarta-Magelang dan Lembah Brantas dari Jawa Timur. Dasar pertanian
mereka ialah budidaya beras dengan irigasi yang dilengkapi ladang
palawija kering dan pemeliharaan pohon dan semak-semak sebagai hiasan.
Meski
dengan kestabilan penduduk yang cukup baik dan tidak mengalami
urbanisasi dalam taraf apapun, tetap ada beberapa wilayah yang memiliki
penduduk cukup besar dan lebih menonjol dari yang lain. Kraton atau
istana ibukota, kira-kira memiliki penduduk hingga ribuan orang. Pola
persebaran penduduk ini masih terlihat hingga masa kolonial. Crawfurd
mencatat bahwa walaupun tampaknya tidak ada kata-kata Jawa asli untuk
kota, dan bahkan ibukota tidak lebih dari kumpulan desa dengan istana di
tengahnya, istana yang dikelilingi tembok di Yogyakarta berpenduduk
lebih dari 100 ribu jiwa (Crawfurd 1856: 182-183). Tidak adanya sentral
kependudukan yang besar sebagai pusat aktivitas selain dari kraton,
sedikit banyak mungkin disebabkan oleh kebijaksanaan yang disengaja dari
pemerintah pusat agar tidak mendorong pertumbuhan pusat persaingan
kekuasaan.
Pola ini pula dimodifikasi
oleh Jawa Timur, hingga ketika abad ke-9 dan ke-10 kota-kota pelabuhan
di sepanjang garis pantai mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan
akhirnya menjadi pusat persaingan kekuasaan. Dan dengan runtuhnya
Majapahit menjelang akhir abad ke-15, mereka memisahkan diri dan mulai
membentuk negara-negara kecil dan berorientasi pada perdagangan dengan
pulau-pulau di wilayah utara. Walaupun kemajuan dan pesatnya persebaran
penduduk di wilayah pedalaman relatif tetap stabil.
Terdapat
dua tingkat pemerintahan dibawah kraton. Yakni wanua atau desa dan di
tingkat menengah terdapat watek atau sekelompok desa. Wanua atau
kompleks desa, secara epigrafis merupakan unit ekonomis dan politis
terkecil yang dapat dilihat di dataran rendah Jawa. Identifikasi
penduduk wanua dengan sebidang tanah tidak hanya sebatas pada tanah yang
diolah oleh anggota masyarakat itu.
Raja - Raja Periode Jawa Tengah
Rakai Panangkaran
Sri
Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua Kerajaan
Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno).
Ia memerintah sekitar tahun 770-an. Minimnya data-data sejarah Mataram
Kuno menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran di antara para sejarawan
mengenai asal-usul Rakai Panangkaran. Ada yang berpendapat ia berasal
dari Wangsa Sanjaya, ada pula yang berpendapat ia berasal dari Wangsa
Sailendra.
Pembangunan Candi Kalasan
Maharaja
Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja
Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah
Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini
dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan
tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.
Sementara
itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti
Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan
sebuah candi Buddha untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas
permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai
Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa
Sailendra”.
Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra
Sanjaya
merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732),
ia menganut agama Hindu aliran Siwa. Sementara itu Rakai Panangkaran
adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia
mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita
tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja
tersebut.
Teori
pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai
Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan
oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan
tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai
Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra
tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam
prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para
sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.
Teori
kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa,
Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal
dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka
tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang
juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho
Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai
Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam
Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang
dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka
identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru
raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori
ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan
putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis
nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar
Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian
dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah
raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta
mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran
tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam
prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa
Sailendra).
Dalam
hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah
bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra
sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak
menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra
tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah
Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat,
Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga
Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam
prasasti Mantyasih.
Rakai Pikatan
Sri
Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang
memerintah sekitar tahun 840-an – 856.
Nama Asli dan Gelar
Rakai
Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama
aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti
Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.
Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan
dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah
jabatan menjadi Rakai Pikatan.
Akan
tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar
Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah
meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi
tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja.
Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana
seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah,
misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Menurut
prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati
sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama
Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.
Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856.
Perkimpoian dengan Pramodawardhani
Prasasti
Wantil juga menyinggung perkimpoian Sang Jatiningrat alias Rakai
Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan
sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang
beragama Buddha Mahayana, sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama
Hindu Siwa.
Pramodawardhani
adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti
Kayumwungan tahun 824. Saat itu yang menjabat sebagai Rakai Patapan
adalah Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sama sekali tidak disebut.
Mungkin saat itu Pramodawardhani belum menjadi istri Mpu Manuku.
Sejarawan
De Casparis menganggap Rakai Patapan Mpu Palar sama dengan Maharaja
Rakai Garung dan merupakan ayah dari Mpu Manuku. Keduanya merupakan
anggota Wangsa Sanjaya yang berhasil menjalin hubungan perkimpoian
dengan Wangsa Sailendra.
Teori
ini ditolak oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti Gondosuli, Mpu
Palar merupakan pendatang dari pulau Sumatra dan semua anaknya
perempuan. Lagi pula, Mpu Manuku sudah lebih dulu menjabat sebagai Rakai
Patapan sebelum Mpu Palar. Kemungkinan bahwa Mpu Manuku merupakan putra
Mpu Palar sangat kecil.
Sementara
itu, Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan pada tahun 807,
sedangkan Pramodawardhani masih menjadi gadis pada tahun 824. Hal ini
menunjukkan kalau perbedaan usia di antara keduanya cukup jauh. Mungkin,
Rakai Pikatan Mpu Manuku berusia sebaya dengan mertuanya, yaitu
Samaratungga.
Pramodawardhani
bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap
diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer.
Kiranya saat itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki.
Selir
bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri Dyah
Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907).
Perang Melawan Balaputradewa
Balaputradewa
putra Samaragrawira adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang
dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik
dengan Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa adalah
saudara Pramodawardhani.
Dalam
prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan
berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu
di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra
Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang
ditafsirkan sebagai Balaputradewa. Akibatnya, muncul teori bahwa telah
terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga
yang berakhir dengan kekalahan Balaputradewa.
Slamet
Muljana menolak anggapan bahwa Samaragrawira identik dengan
Samaratungga karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya
memiliki seorang anak bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira
lebih tepat disebut sebagai ayah dari Samaratungga. Dengan demikian,
Balaputradewa merupakan paman dari Pramodawardhani.
Teori
populer menganggap Balaputradewa membangun benteng dari timbunan batu
di atas bukit Ratu Baka dalam perang melawan Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani. Namun, menurut sejarawan Buchari, di bukit Ratu Baka
tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama
Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak
terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai
keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya.
Sementara
itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”.
Jadi, istilah ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan
untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai
Walaing, musuh ayahnya.
Dengan
demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai
Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Kiranya
Balaputradewa meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, tetapi
karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta
Kerajaan Medang, mengingat ia bukan putra Samaratungga melainkan
adiknya.
Wangsa
Sailendra di bawah pimpinan Dharanindra berhasil menaklukkan Kerajaan
Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya
diwarisi oleh Samaragrawira. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena
menurut prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil merdeka dari penjajahan Jawa
pada tahun 802.
Atas
dasar tersebut, sepeninggal Samaragrawira mungkin kekuasaan Wangsa
Sailendra dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa
lebih mudah. Kekuasaan atas pulau Jawa diberikan kepada Samaratungga,
sedangkan kekuasaan atas pulau Sumatra diberikan kepada Balaputradewa.
Pendirian Candi Prambanan
Prasasti
Wantil disebut juga Prasasti Siwagrha yang dikeluarkan pada tanggal 12
November 856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura,
juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang
diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Berdasarkan
ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik
dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan
demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai
Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa
raja-raja selanjutnya.
Akhir Pemerintahan
Prasasti
Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun
takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta
Kerajaan Medang kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah
Lokapala alias Rakai Kayuwangi.
Penunjukan
putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan atas jasa
mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini
menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul prasasti Munggu Antan atas
nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar
raja prasasti Mantyasih, sehingga dapat diperkirakan pada akhir
pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan kerajaan.
Nama
Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti
Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan.
Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah
suami istri.
Pada
tahun 807 Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai
Patapan. Ia turun takhta menjadi brahmana pada tahun 856. Mungkin saat
itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang
Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di desa Pastika.
Dyah Balitung
Sri
Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah
raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan
Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 899–911. Wilayah
kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Asal-Usul
Analisis
para sejarawan, misalnya Boechari atau Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa
Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja
sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang
yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.
Mungkin
alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja
sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti
Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang
sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan
ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi
dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi,
kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai
Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi
pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga
kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal
Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada
iparnya, yaitu Mpu Daksa.
Riwayat Pemerintahan
Pada
masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi
berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan
ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dimungkinkan
karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah
rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai
Gurunwangi.
Prasasti
tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah prasasti
Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti ini adalah
prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah
naik takhta sebelum tahun 899.
Disusul
kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902. Prasasti tersebut
adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan
Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan
Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang
dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti
Telang tanggal 11 Januari 904 berisi tentang pembangunan komplek
penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh Rakai Welar Mpu
Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa
sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah
dari para penyeberang.
Prasasti
Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi
mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan
raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja
ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.
Prasasti
Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada
Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena
keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan
menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya
“korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.
Prasasti
Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi tentang anugerah kepada lima
orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan
Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula urutan raja-raja
Medang yang memerintah sebelum dirinya.
Pada
tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah
untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat
bangunan suci di Limwung.
Akhir Pemerintahan
Pengangkatan
Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan besar melahirkan rasa cemburu di
hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya yang tentunya lebih berhak
atas takhta Kerajaan Medang.
Mpu
Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan telah mengeluarkan
prasasti tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah Taji Gunung
bersama Rakai Gurunwangi.
Sebagaimana
dibahas sebelumnya bahwa, Rakai Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai
maharaja pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi dan awal pemerintahan
Rakai Watuhumalang. Berdasarkan prasasti Plaosan, Rakai Gurunwangi
diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.
Dyah
Balitung berhasil naik takhta menggantikan Rakai Watuhumalang
diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai Gurunwangi dan
Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam kemudian
bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi dan
Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).
Sejarawan
Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah Balitung berakhir akibat
pemberontakan Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung (910) Daksa masih
menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan Wungkal
(913) ia sudah bergelar maharaja.
DINASTI YANG BERKUASA
Pada
umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa
di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada
periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah
Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van
Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya
sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa
Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai
saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula
menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar
tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil
menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat
perkimpoian itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya
ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali
Wangsa Sanjaya.
Menurut
teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap
sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet
Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang
pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh
yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya
bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji
Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra”
(Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van
Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja
Sailendra.
Menurut
teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai
dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa
Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai
Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah
Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang
bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya
dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti
Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet
Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung
dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya
Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap
bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara
itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang
baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu
Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya
adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Wangsa (Dinasti) Sanjaya disebutkan sebagai pemeluk agama Hindu Siwa,
sedangkan Wangsa Sailendra pemeluk Buddha Mahayana. Salah satu
peninggalan terpenting Wangsa Sanjaya adalah Candi Prambanan. Adapun
warisan Wangsa Sailendra yang terutama adalah Candi Borobudur.
Pengetahuan
tentang adanya dua wangsa di Jawa itu diawali oleh teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli bangsa asing pada masa kolonial. Sebutlah
misalnya FH van Naerssen, Bosch, George Coedes, W.F. Stutterheim, serta
JG de Casparis.
Para
ahli tersebut, terutama Stutterheim, menunjuk isi prasasti Mantyasih
(Balitung) sebagai dasar teorinya. Prasasti bertarikh tahun 907 yang
ditemukan di daerah Magelang itu berisikan nama-nama raja Mataram
sebelum Raja Balitung. Oleh Stutterheim, prasasti Balitung dianggap
berisikan silsilah Wangsa Sanjaya.
Pengetahuan
tentang dua dinasti itu terus diajarkan selama puluhan tahun di
sekolah-sekolah. Akan tetapi, sebenarnya hal tersebut keliru. Ahli-ahli
Indonesia seperti Poerbatjaraka dan Boechari, sejak tahun 1950-an telah
memberikan koreksi. Dinasti penguasa Jawa pada masa sejarah klasik hanya
satu, tulis mereka. Namun, hingga kini, rupanya koreksi dari mereka
kurang didengar.
“Kalau
kita bicara tentang adanya satu atau lebih dinasti yang berkuasa di
Mataram, maka yang dimaksud ialah ‘yang berkuasa sebagai maharaja’,”
tulis Boechari, ahli epigrafi terkemuka Indonesia, dalam suatu
makalahnya. Menurut Boechari, di Jawa pada masa Mataram Kuno terdapat
banyak raja-raja kecil sebagai penguasa lokal. Mereka memiliki
silsilahnya sendiri-sendiri. Karena itu, Boechari berpendapat, isi
prasasti Mantyasih bukanlah silsilah Wangsa Sanjaya.
Poerbatjaraka
dan Boechari berpendapat, dinasti penguasa Jawa pada masa klasik
hanyalah Wangsa Sailendra. Rakai Sanjaya pun termasuk bagian dari Wangsa
Sailendra walaupun ia beragama Hindu. Beberapa prasasti diajukan oleh
ahli-ahli ini sebagai buktinya.
“Sejarah
memang perlu dikoreksi,” ucap ahli arkeologi Bambang Budi Utomo dari
Pusat Arkeologi Nasional. “Karena sebenarnya istilah Wangsa Sanjaya itu
tidak pernah disebutkan dalam prasasti manapun. Yang disebutkan
berkali-kali hanyalah Wangsa Sailendra,” tegasnya.
Bagaimana
sebenarnya asal mula Sailendra sebagai satu-satunya dinasti penguasa
Jawa pada masa klasik? Apakah kaitan keluarga ini dengan Sriwijaya? Para
ahli Indonesia masa silam hingga sekarang—mulai dari Poerbatjaraka,
Boechari, hingga Bambang Budi Utomo—menjelaskannya dalam kisah mengenai
Sriwijaya di majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2013.
Sayangnya, salah satu bukti bahwa dinasti penguasa Jawa hanya ada satu,
sekarang sudah raib.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja
merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja
pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik
dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika
Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya
dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada
Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang,
dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian
gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai
Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat
dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya
Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan
tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang
ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau
saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya.
Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah
Wawa.
Jabatan
Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada
zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri
namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan
sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i
Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini
masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa
Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan
Mahamantri Bawang.
Jabatan
tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai
pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman
sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun
kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
KEADAAN PENDUDUK
Penduduk
Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya
bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara
agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara
maritim.
Agama
resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu
aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan
berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai
Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup
berdampingan dengan penuh toleransi.
KONFLIK TAHTA PERIODE JAWA TENGAH
Pada
masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 –
880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu
Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal
ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah
satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti
Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah
Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil
mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali.
Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan
Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa
yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian
digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui
dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui
kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
PERPINDAHAN PUSAT PEMERINTAHAN
Perkiraan
perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno dari Jawa tengah ke Jawa
Timur adalah sekitar abad ke-10 M. Asumsi ini diperkuat dengan
temuan-temuan prasasti paling awal di daerah Jawa Timur adalah pada masa
pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (899-911) terdapat di
belakang patung Ganesha di daerah Ketanen berangka tahun 826 saka.
Beberapa prasasti lain yang terdapat di Jawa Timur contohnya, prasasti
Sugihmenek (837 saka) oleh Raja Daka, prasasti Harinjin (726 saka) oleh
Raja Rake Layan Dyah Tulodon, prasasti kinawe (849 saka) dan prasasti
Sanguran (850 saka).
Menurut NJ.
Krom, perpindahan pusat pemerintahan ini adalah dibawah pemerintahan Pu
Sindok. Pandangan ini bersumber dari pendapat Poerbatjacaraka sesuai
yang tertulis dalam prasasti Pu Sindok, prasasti Daksa, dan Wawa.
Termaktub disana bahwasanya Istana Mdang ialah istana leluhur-leluhurnya
yang selayaknya didewakan (Rhyan ta), dan oleh karena itu maka
istananya harus dipindahkan ke wilayah lain.
Sedangkan
menurut Dr. JG de Casparis, kemajuan perdagangan arab di abad 9 M
menjadi faktor yang ikut andil dalam perpindahan pusat kekuasaan. Pada
saat itu Indonesia khususnya di wilayah timur sebagai pusat penghasil
rempah-rempah, kayu cendana, dan hasil-hasil pertanian lainnya menjadi
pusat terjadinya transaksi perdagangan dengan wilayah-wilayah asing
seperti Arab, China, India dan sebagainya. Ini menumbulkan kekhawatiran
pada tubuh Sriwijaya, Sriwijaya takut wilayah itu akan tumbuh melahirkan
kongsi dagang yang kuat dan pada akhirnya akan memonopoli perdagangan
nusantara. Karena itu Sriwijaya memulai penyerangan ke wilayah Mataram
pada tahun 925 M. Mereka mendarat di Jawa timur dan melakukan pergerakan
hingga Nganjuk. Namun pasukan Sriwijaya dapat dipukul mundur oleh
tentara dibawah kepemimpinan Pu Sindok. Keterangan ini berdasarkan
prasasti Anjukladan (859 saka/937 M). Faktor ini pula yang menyebabkan
Raja- raja Mataram member perhatian yang lebih pada daerah Jawa Timur.
MADANG PERIODE JAWA TIMUR
Mpu
Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang
memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri
Isana Wikramadharmottunggadewa.
Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isana.
Istana
Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah
Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa
pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di
sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke
daerah Mataram.
Mpu
Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur
sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya
merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya,
ditemukan kalimat Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi
Mataram i Watugaluh.
Mpu
Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia
membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929).
Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937).
Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah
Jombang sekarang.
MPU SENDOK
Mpu
sendok naik tahta pada tahun 929 M dengan gelar Sri Ishana Wikrama
Dharmotunggadewa (dinasti Ishana). Mpu sendok merupakan peletak dasar
berdirinya kerajaan-kerajaan di jawa timur. Sendok mendirikan dinasti
baru yang disebut dinasti ishana. Pusat pemerintahannya ada di
watugaluh. Mengenai jalannya pemerintahan mpu sendok tidak diketahui
secara pasti. Namun diperkirakan berjalan tertib dan aman. Hal ini dapat
diketahui dari usaha-usaha yang dia lakukan seperti pembangunan
irigasi, menghimpun kitab agama Budha Tantrayana “sang hyang
kamahayanikan” yang tertulis oleh sambara surya warana. Dari keterangan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi beragama waktu itu cukup
baik, sebab mpu sendok yang hindu ternyata mengijinkan ditulisnya kitab
agama budha san hyang kamahayanikan.
Untuk
mengetahui silsilah dan keturunan mpu sendok dapat dilihat dalam
prasasti airlangga yang disebut prasasti Calcutta tahun 1042.
Silsilahnya adalah sebagai berikut :
Raja
sesudah mpu sendok adalah Sri Ishanatunggawijaya yang kimpoi dengan
Lokpala mempunyai anak bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana
punya anak Mahendradata yang kimpoi dengan udayana dari Bali. Dari
perkimpoian tersebut lahirlah airlangga.
Airlangga punya anak bernama Samarawijaya dan Panji Garakasan yang nantinya menjadi penumbuh berdirinya kerajaan Kediri.
DHARMAWANGSA TEGUH
Dalam
prasasti Calcutta status darmawangsa tidak diketahui secara jelas.
Mungkin ia kakak mahendrata, anak makutawangsawardana dari isteri selir.
Darmawangsa
merupakan seorang raja yang memiliki pandangan yang luas. Ia mempunyai
perhatian yang besar terhadap negaranya, baik di bidang pemerintahan,
ekonomi dan kebudayaan. Untuk merealissikan cita-citanya ini darmawangsa
melakukan usaha-usaha seperti berikut ini:
Kitab mahabarata disadur ke dalam bahasa jawa kuno woyasa kresna dwipayana.
Melakukan
ekspansi ke sriwijaya (991) dan berhasil menguasainya. Bukti bahwa
sriwijaya dikuasai dharmawangsa yaitu ketika utusan sriwijaya yang
berkunjung ke china hendak pulang kembali tertahan di kanton karena
negerinya (sriwijaya) sedang menghadapi serangan dari jawa. Tahun 992
utusan tersebut berusaha pulang lagi namun hanya sampai di campa saja
karena negerinya diduduki oleh jawa.
Dengan
jatuhnya wora-wari itu? Mungkin wora-wari adalah raja bawahan
dharmawangsa atau wora-wari adalah alat sriwijaya untuk mebalas
dharmawangsa.
AIRLANGGA
Pada
tahun 1019 airlangga naik tahta atas permintaan para brahmana dengan
gelar Sri Maharaja Rake Hulu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga. Dengan
susah payah Airlangga akhirnya bisa menyatukan bekas reruntuhan kerajaan
dharmawangsa. Ibu kota yang semula berada di Wutan Mas dipindahkan ke
kahuripan 1037.
Airlangga adalah
seorang raja yang memiliki perhatian besar terhadap kemajuan negarannya
dan kemakmuran rakyatnya. Hal ini Nampak dalam usahanya seperti berikut :
Memperbaiki pelabuhan hujung galuh yang terletak di sungai brantas.
Pelabuhan kambang putih di tuban dibebaskan pajak.
Membuat tanggul di waringin pitu agar sungai brantas airnya tidak muntah.
Agama dan kebudayaan
Agama
yang berkembang pada masa pemerintahan airlangga adalah agama hindu
waisnawa. Hal ini Nampak pada candi belahan dimana airlangga diwujudkan
sebagai sebuah arca sebagai wisnu menaiki garuda.
Untuk
mengenang jerih payah airlangga mempersatukan kerajaan yang
porak-poranda disusunlah kitab arjunawiwaha oleh mpu kanwa 1030. Inilah
hasil sastra zaman airlangga yang sampai pada kita. Sementara airlangga
sendiri sebelum mengundurkan diri jadi pertapa, ia telah membangunkan
sebuah pertapaan bagi anaknya sangramawijaya di pucangan (gunung
penanggungan).
Pembagian wilayah
Sebelum
airlangga mengundurkan diri dari tahtanya, ia membagi wilayah
kerajaannya menjadi dua bagian. Tugas ini desarahkan kepada Mpu Barada
yang terkenal kesaktiannya. Dua kerajaan itu adalah jenggala (singasari)
dengan ibukotanya di kahuripan dan panjalu (Kediri) dengan ibukotanya
di Daha
Batas kedua kerajaan tersebut adalah gunung kawi ke utara dan keselatan pada tahun 1040 M
Atas
pembagian wilayah menjadi dua oleh airlangga yaitu untuk menghindari
perebutan kekuasaan diantara anak-anak Airlangga sendiri dari garwo
selir sepeninggal Airlangga. Sebab Sanggramawijaya yang mestinya berhak
atas tahta ayahnya tak bersedia menggantikannaya, dia memilih bertapa.
PEMBAGIAN KEKUASAAN MASA AIRLANGGA
Sejak
tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring
dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah
menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas
pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut
prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga
Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti
Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah
Sidoarjo sekarang).
Airlangga
pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker,
kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas
dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan
pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung
sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas
dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan
ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan.
Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula
Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan
dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas
pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu.
Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh
rakyatnya sendiri.
Kerajaan yang baru
dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari
Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama
Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama
kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai
Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga
memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh
kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042),
pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah
keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi
kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam
prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga
juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa
menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab
tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca,
sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada
tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon
Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut
Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat
dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar
kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana.
Berdasarkan
cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih
hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut
dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah
Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga
kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia
pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang
bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun
mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra
keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata
kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga
lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan
perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini
tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun
Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut
Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri
Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota
lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam
prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja,
sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah
bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan
kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Post a Comment