TENTANG SYEKH AL-MUTAMMAKIN


















Siapakah Syekh Al-Mutamakkin?
Dalam Serat Cebolek disebutkan, Syekh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama kampung, berseteru dengan ulama birokrat (Keraton Solo) yang diwakili oleh Katib Anom Kudus. Dalam serat ini dikisahkan, Syekh Ahmad Mutamakkin mengajarkan ilmu hakikat (tasawuf) kepada khalayak ramai. Namun, ajaran ini dianggap sesat oleh sejumlah ulama lain, termasuk Katib Anom.
Katib Anom lalu melaporkan hal ini pada pihak Kerajaan Kartasura di Solo. Pengadilan pun dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin. Menurut Gus Dur, pandangan ulama-ulama itu begitu tampak membebek dengan kekuasaan. Sementara itu, Syekh Ahmad Mutamakkin berani melakukan perlawanan kultural dengan kekuasaan yang dianggap salah.
Syekh Ahmad Mutakkim adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa khususnya wilayah Pati.
Syekh Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut.
Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa Kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “Cebolek” seperti desa kelahiran beliau.


Silsilah Syekh Al-Mutamakkin?
Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
penjelasanya
Versi Kajen / Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
- Brawijaya V (Raja Wilwatikta terakhir)
- Raden Patah Sayid Ali Akbar (Sultan Demak )
- Sultan Trenggono
- Putri Sultan Trenggono menikah dg Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor (Joko Tingkir)
- Sumo Hadiningrat Raden Tanu (Pangeran Benowo)
- Sumohadinegoro menikah dengan Putri Raden Tanu
- Syekh Ahmad Mutamakkin

Perjalanan Syekh Al-Mutamakkin?
Dalam masa hidupnya syekh Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu.
Tidak diketahui secara pasti kapan syekh Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syekh Zayn ( Syekh Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII.
Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syekh Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.

Bagaimana syekh Al-Mutamakkin menyebarkan Islam?
Dalam serat Cebolek diceritakan bahwa Syekh Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat.
Syekh Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasawuf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti.
Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Hal penting yang dapat diambil pelajaran dari seorang syekh Ahmad Mutamakkin adalah kecerdasan dan kepiwaian dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah-tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural-kontekstual. Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Beliau lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. Melalui strategi kultural ini beliau menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Beliau berbicara sesuai dengan nafas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi.
 
Apa itu serat Cebolek?
Serat ini mengisahkan pertentangan antara ajaran Islam “ortodoks” dengan Islam “heterodoks” (“menyimpang”). Islam ortodoks diwakili oleh Ketib Anom, ahli agama dari Kudus, sernentara Islam heterodoks diwakili Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, Tuban. Dikisahkan, bahwa Kiai Mutamakkin telah mengajarkan “ilmu hakikat” kepada khalayak ramai, ajaran yang dianggap sesat oleh para ulama. Ketib Anom melaporkan hal ini kepada pihak Kerajan Kartasura di Solo. Pengadilan kemudian dilakukan atas diri Kiai Mutamakkin.
Kisah dalam Serat ini, tampaknya lebih memihak para ulama yang mewakili ajaran Islam ortodoks.
Tetapi sebuah teks dari desa Kajen, Pati,mengisahkan “serat” yang berbeda, di mana Kiai Mutamakkin justru dipandang sebagai pihak yang benar. Kisah Kiai Mutamakkin ini mewakili pola yang hampir “tipikal” dalam sejarah Islam: pertentangan antara “ilmu lahir” dan “ilmu batin”, ilmu hakikat dan ilmu syari’at, Islam ortodoks dan Islam heterodoks, “serat resmi,’” dan “serat rakyat’.

Share this article :

Post a Comment